Magelang (ANTARA) - Hidup sulit dan prihatin memang membikin gerah dan tidak betah. Berbeda halnya dengan bungah, mudah, dan mapan yang jangan sampai terusik.
Usaha mencapai hidup yang enak mesti terus-menerus diperjuangkan, dipertahankan, sedangkan capaian atas sukses ditularkan supaya beranakpinak.
Baca juga: Ketua MPR Bambang Soesatyo optimistis pariwisata bangkit di era normal baru
Persoalan manusia susah dan hidup sederhana, apalagi miskin, seakan-akan cukuplah sebatas praktikum belajar atau sekadar simulasi.
Kalau kenyataan hidup toh terpaksa dalam samudra kesulitan hingga seakan tak berujung rampung, eksistensialnya dibangun berupa pencarian jalan kebahagiaan di tengah himpitan prihatin.
Sebaliknya, capaian sukses, tenar, jabatan, dan lebih-lebih beroleh sokongan kekayaan berlimpah-ruah, supaya makin bermakna tinggi, terhormat, dan mulia, mesti diberi warna komplet melalui perwujudan empati, solidaritas, kemurahan hati dan ketulusan terhadap mereka yang fakir, sakit, disabilitas, dan hina dina.
Bante Sri Pannyavaro Mahathera membeberkan tentang bahagia manusia bukan melekat pada materi yang diperoleh dan mengelilingi kehidupannya.
"Meski materi anda berlimpah, anda tidak akan bahagia. Karena kebahagiaan ada di dalam diri kita. Bukan di luar," katanya sebagaimana termemori dalam buku kumpulan khotbahnya, "Melihat Kehidupan ke Dalam" (2017).
Barangkali kalau diizinkan sang biksu yang juga pemimpin wihara di dekat Candi Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu, ihwal derita manusia pun tidak keliru juga dikatakan demikian.
Relief di kaki Candi Borobudur tentang Karmawibhangga, bercerita reflektif tentang hukum sebab akibat, agar setiap umat manusia yang bahagia dan menderita bertekun dalam jalan pencarian eksistensial.
Tidak ada jalan yang sia-sia bagi Sidharta Gautama yang kenyataannya bergelimang serba ada di lingkungan istana, namun memutuskan menempuh jalan pencarian mencapai penerangan sempurna sebagai Buddha Gautama, lalu mengajarkan kebajikan hingga mangkat.
Kisah burung pipit memadamkan kebakaran hutan dalam relief Jataka di candi Buddha terbesar di dunia di Kabupaten Magelang itu, juga bukan hendak bercerita tentang jalan hidup sia-sia. Melalui sosok reinkarnasi bodhisatwa itu, hendak diungkapkan soal-soal menyangkut jalan kesungguhan dan ketulusan mengatasi masalah.
Virus corona jenis baru (COVID-19) yang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) distempel sebagai pandemi global memang membikin manusia harus menjalani masa-masa duka untuk segala lini kehidupan.
Susah dan lara manusia karena pandemi sekarang, belum tentu derita bagi udara, air, satwa, atau tumbuhan. Lingkungan alam mungkin bersuka ria karena beroleh kebebasan dari polusi tatkala aktivitas manusia dengan budaya industrialnya merintih.
Bagi sang virus yang jalan pencarian di jagat raya melalui mutasi dan transmisi oleh manusia disimpulkan sebagai merebak, mungkin suatu lakon tersendiri sebagai bagian dari eksistensi di muka Bumi.
Setidaknya, sebagai makhluk yang mengklaim diri paling istimewa, diciptakan Sang Ilahi, memiliki perangkat kekuasaan komplet untuk berpikir, berolah nurani, dan berkehendak, manusia menderita karena pandemi COVID-19. Oleh karenanya, manusia mendayaupayakan keluar dari penderitaan.
Mereka yang sakit terpapar virus segera ditangani supaya pulih, yang terdampak ditolong dengan segala rupa program bantuan agar keluar dari tekanan, sedangkan korban jiwa pun secara serius ditekan jangan sampai banyak yang tumbang.
Para ahli di berbagai negara berjuang keras mencari antivirus corona baru. Sifat virus konon tak bisa dimatikan atau disirnakan. Ia berkarakter berdiam diri saat tidak beroleh inang, tetapi ketika mendapatkan inang akan berkembang dan bermutasi.
Menggalang
Pemerintah dengan berbagai kalangan lebih berpunya menggalang segala rupa program bantuan sosial untuk mereka yang dianggap paling terdampak supaya tetap bertahan di tengah pandemi.
Mereka semua terdampak pandemi diberi curahan semangat bertahan, bersabar, dan bersama-sama komponen lain saling memperkuat harapan kepada pulihnya keadaan atau segera keluar dari sergapan pandemi.
Ayat demi ayat dari semua agama diaduk-aduk untuk disajikan kepada umat beriman dan berkeyakinan, sebagai salah satu referensi jalan pencerahan manusia agar bertahan dari pandemi.
Yang harus menerima kodrat kematian karena tumbang oleh virus pun tetap diurus secara layak. Diterapkan protokol nurani kemanusiaan paling luhur dalam prosesi seagung-agungnya yang bisa dikerjakan, agar arwahnya memasuki normal baru "di sana", di hadapan Sang Khalik.
Wujud normal baru mereka "di sana" tak lagi diketahui manusia yang masih berkelana di jagat fana, tetapi manusia yang masih hidup pun sedang dibawa kepada normal baru supaya mampu bertahan dari cengkeraman pandemi.
Hingga saat ini, barangkali boleh dikatakan nyaris tak ada yang berkemampuan mumpuni menerangkan wujud normal baru manusia global di tengah pandemi, kecuali anggapan paling masuk akal sebagai jalan hidup bersama COVID-19.
Protokol kesehatan yang sebegitu detailnya disusun untuk dilakukan secara disiplin oleh setiap manusia dalam interaksi dan berelasi dengan sesama dan lingkungan, hanyalah peranti-peranti manusia agar tidak bersentuhan dengan virus yang menyerang cepat dan mematikan itu.
Supaya tidak tertular virus, manusia, antara lain harus jaga jarak, rajin mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, pemakaian masker dan alat pelindung diri, penggunaan cairan pembersih tangan, lebih banyak berdiam di rumah, berpola hidup bersih dan sehat.
Perkembangan keadaan positif maupun negatif tentang data manusia, termasuk dinamika kurva dan hasil pemodelan jejak serangan COVID-19, menjadi radar zonasi pandemi virus yang memberi sinyal untuk penerapan protokol itu harus kencang atau boleh longgar.
Apapun anggapan penyebab pandemi, baik rekayasa elite industri global, peristiwa alam, atau bahkan kehendak Tuhan agar manusia beroleh pencerahan, pemerintah terus menggalang daya upaya bersama secara berlanjutan untuk mengatasinya.
Saat ini, arah menuju normal baru sedang mulai diterapkan. Hal yang paling terasa, terlebih untuk memulihkan perputaran roda ekonomi dari perlambatan cukup signifikan. Gerbong ekonomi sedang dipulihkan untuk bergerak bersama dengan gerbong kesehatan di atas rel agar melaju mencapai stasiun tujuan normal baru.
Begitu pula dengan kegiatan keagamaan oleh umat berbagai agama dengan penerapan peranti, berupa protokol kesehatan. Umat Islam sudah bisa melakukan ibadah secara berjamaah, sejak Jumat (5/6) lalu, terutama untuk berbagai zona hijau.
Otoritas gereja Katolik, setidaknya Keuskupan Agung Semarang dan Keuskupan Agung Jakarta, seakan belum hendak bergegas membuka tempat ibadah guna menjamin keamanan umat dari paparan virus yang dinilai saat ini masih cukup tinggi.
Kegiatan kepariwisataan Candi Borobudur rencananya dilakukan simulasi penerapan tatanan normal baru pada Rabu (10/6) sebelum dibuka kembali untuk kunjungan umum. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dijadwalkan hadir.
Kehidupan normal baru di tengah pandemi memang bukan sekadar penerapan protokol kesehatan. Ia boleh dikata bukan bangunan wadak untuk dimasuki manusia beraktivitas. Mungkin suatu suasana kehidupan normal manusia untuk saling menjamin tidak menjadi inang COVID-19.
Barangkali normal baru itu, sebagaimana bab "Windu Kencana", ajaran spiritualitas kejawen Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962), "Kawruh Jiwa". Sejak dahulu kala, zaman Windu Kencana dicari, tetapi tidak bisa ditemukan, meskipun sering lahir. Orang-orang tidak merasakan dan tidak mengerti.
Ajaran tentang Windu Kencana, antara lain juga tentang orang percaya kalau semua orang sedang sengsara, lalu merasakan sengsara bersama-sama. Dalam derita bersama hasrat bersaing menjadi musnah. Begitu pula, orang bersama-sama beruntung dan merasakan sama-sama beruntung, membuat watak iri dan bersaing sirna.
"'Windu Kencana punika wohing raos sami, inggih punika sirnaning ungkul, raos beda' (Windu Kencana suatu perasaan sama, yakni sirnanya persaingan dan perasaan berbeda)," ujar Ki Ageng.
Kalau kesan roda ekonomi diputar secara bergegas di tengah pandemi yang masih menunjukkan banyak jejak saat ini maka setiap orang mesti memiliki kesadaran nurani bersama untuk saling mencegah tertular virus atau berperan sebagai penular virus.
Tentu tidak mudah, terlebih kalau merasakan kekhawatiran selama ini tentang rendahnya disiplin dan kepatuhan warga terhadap aturan bersama. Begitu juga menyangkut bangunan pemahaman bersama akan kekuatan penting protokol sebagai piranti menjalani normal baru di tengah pandemi.
Dalam hal tatanan kehidupan normal baru, penerapan protokol bukan sekadar artifisial atau peristiwa seremonial sesaat, namun mesti inheren dalam diri dan artikulatif bagi ragam aktivitas manusia secara bareng. Itu yang kelihatannya tak mudah diraih dengan bergegas.
Baca juga: Normal baru akan mampu pulihkan daya beli masyarakat walau bertahap
Baca juga: Permenhub baru terbit, jumlah kapasitas angkut tak lagi dibatasi 50 persen
Oleh M. Hari Atmoko