Banjarmasin (ANTARA) - Pemandangan rawa monoton menjadi salah satu penanda ketika memasuki wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara di Kalimantan Selatan.
Sejauh mata memandang hingga garis horizon, di kiri kanan jalan, yang tampak hanyalah rawa yang ditumbuhi rumput, eceng gondok, dan beberapa jenis tumbuhan rawa liar. Tidak mengherankan, karena 89 persen kawasan di kabupaten ini berupa lahan rawa.
Meski tampak seperti lahan terbengkalai, di mata orang-orang kreatif, lahan rawa tersebut merupakan "sentra bahan baku" pembuatan berbagai produk kerajinan tangan.
Baca juga: Mengintip geliat usaha kerajinan rotan Pekanbaru yang berdayakan pengangguran
Supian Noor salah satunya. Perajin asal Desa Banyu Hirang, Amuntai Selatan ini sudah menghasilkan berbagai jenis kerajinan berbahan baku eceng gondok dan purun, sejenis tumbuhan liar yang hidup di rawa.
Ada sekitar 50 jenis produk yang dihasilkan oleh Sofian Nur dan para perajin yang tergabung dalam kelompok usaha Kembang Ilung di desa tersebut, mulai dari dompet kecil, tas, keranjang, tikar, pembatas ruangan hingga kursi.
Produk teranyar yang tengah dikembangkan oleh kelompok usaha Kembang Ilung yang dipimpin Sofian adalah sedotan purun. Produk ramah lingkungan ini semakin populer seiring dengan makin meluasnya gerakan anti-sedotan plastik di Indonesia.
Berbagai restoran, kafe, hingga hotel tidak lagi menyediakan sedotan plastik untuk tamu. Banyak orang juga mulai membawa sedotan pribadi saat bepergian. Alternatif pengganti sedotan plastik pun mulai bermunculan, dari yang berbahan kertas, bambu, stainless steel, hingga kaca.
Purun (Lepironia articulata) menjadi salah satu bahan alternatif pengganti sedotan plastik yang mulai dilirik orang sejak diperkenalkan oleh Tran Minh, pria asal Vietnam awal tahun lalu.
Supian yang sudah 10 tahun lebih menggeluti bidang usaha kerajinan tangan ini mengatakan, pihaknya mendapat pesanan 100 ribu batang sedotan purun per bulan dari Belanda.
Namun sayang, mereka belum bisa memasok langsung ke Belanda karena hanya mampu memproduksi 100 ribu batang dalam dua bulan.
"Produk kami ini dibawa ke pihak ketiga di Bali dulu. Dari Bali baru dikirim ke Belanda. Kami belum siap untuk kirim sendiri ke Belanda," kata dia.
Baca juga: Perajin Rotan Berharap Sentra Kerajinan Pekanbaru Segera Terwujud
Ia juga mengaku masih akan mempelajari teknik pemotongan dan menambah tenaga kerja untuk bisa meningkatkan produksi karena tidak mungkin ia menghentikan pengerjaan pesanan produk lain yang sudah masuk.
Pembuatan sedotan tersebut harus sesuai ukuran panjangnya, tidak cacat, lubang bulat dan kering serta bersih.
Untuk memotong purun yang sudah diproses melalui pengeringan, ia harus menggunakan pisau silet agar irisan rapi dan tidak pecah. Itu pun harus dikerjakan satu persatu supaya tidak pecah.
Sisa potongan purun ini kemudian bisa diolah lagi menjadi berbagai bentuk seperti dompet atau dimanfaatkan sebagai hiasan rumah.
Produk sedotan purun ini dijual dengan harga Rp20 ribu per pak isi 100 batang. Memang lebih mahal dibanding sedotan plastik, namun keuntungan jangka panjangnya tentu lebih banyak terutama untuk penyelamatan lingkungan.
Mengutip data dari Ocean Conservancy, sampah sedotan plastik sekali pakai merupakan satu dari 10 jenis sampah yang paling sering ditemukan di pantai dan lautan dunia setelah kantong plastik kemasan dan beberapa jenis sampah lainnya.
Di Indonesia, menurut data asumsi kasar yang berhasil dikumpulkan oleh tim Divers Clean Action, pemakaian sedotan sekali pakai diperkirakan mencapai 93.244.847 setiap hari.
Keterbatasan SDM
Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid mengatakan sekitar 89 persen wilayah HSU adalah rawa dengan potensi untuk pertanian hanya sekitar 50 ribu hektare. Namun potensi itu pun tidak bisa digarap secara maksimal karena sangat bergantung pada kondisi air.
Kabupaten seluas 915 ribu km persegi dengan populasi sekitar 225 ribu itu masih merupakan kabupaten tertinggal dengan pendapatan daerah yang minim.
Menganyam purun merupakan penghasilan sampingan warga yang mayoritas hidup dengan bertani, beternak ikan, bertanam sayur-mayur yang bisa hidup di lahan rawa.
Sayangnya, para perajin di daerah tersebut baru bisa fokus pada pasar domestik, terutama di Jakarta, Yogya dan Bali dan masih kesulitan untuk menembus pasar ekspor karena rendahnya kemampuan produksi.
Supian mengatakan, sebelumnya kelompok usaha yang dipimpinnya juga pernah mendapatkan permintaan ekspor 200 ribu unit produk kerajinan anyaman purun dan eceng gondok ke China.
Namun sayang, pihaknya belum bisa menyanggupi karena terbatasnya sumber daya perajin sehingga belum mampu memproduksi kerajinan dalam jumlah besar secara berkesinambungan.
"Kami sudah mendapat kunjungan pengusaha importir produk kerajinan dari tiga negara yakni China, Korea Selatan dan Jerman," katanya beberapa waktu lalu.
Menurut dia, para pengusaha luar negeri tersebut tertarik membeli produk anyaman purun dan eceng gondok.
Padahal Kelompok Usaha Bersama (KUB) Kembang Ilung miliknya sudah mengkoordinir sebanyak enam kelompok perajin dengan total jumlah 120 orang yang tersebar di beberapa desa, namun belum mampu menghasilkan produk kerajinan sebagaimana yang dipesan pengusaha China tersebut.
Upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, pelatihan desain dan motif sebenarnya cukup sering diselenggarakan bagi perajin yang difasilitasi berbagai pihak, namun hasilnya belum seperti yang diharapkan.
Badan Restorasi Gambut (BRG) juga pernah membuat pelatihan pengembangan kerajinan anyaman karena besarnya potensi serat alam di daerah tersebut. Pelatihan digelar untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan gambut.
Menganyam purun juga menjadi salah satu upaya dalam melestarikan gambut. Terpeliharanya budidaya purun, juga menyebabkan kondisi asli hutan rawa gambut dapat terjaga. Lingkungan alam terjaga dan masyarakat juga bisa memperoleh pendapatan tambahan dari kerajinan purun.
Baca juga: Omset kerajinan rotan Pekanbaru capai 20-25 juta perbulan
Pewarta: Sri Haryati