oleh: Aditya E.S. Wicaksono
Belum lama ini, kurang lebih 350 kepala museum di Indonesia berkumpul untuk mengikuti pertemuan Museum Nasional di Malang, Jawa Timur, yang membahas antara lain pengembangan museum, cagar budaya, serta cara-cara pelestarian situs budaya yang ada di Indonesia.
Salah satu hasil dari pertemuan yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu adalah penetapan Hari Museum Nasional pada 12 Oktober.
Ada pun alasan pemilihan 12 Oktober sebagai Hari Museum Nasional adalah karena pertemuan nasional pertama di Indonesia diselenggarakan pada 12-14 Oktober 1962 di Yogyakarta.
Penetapan Hari Museum Nasional, yang masih menunggu persetujuan presiden itu, bertujuan salah satunya sebagai penyemangat insan museum dan warga Indonesia agar lebih memahami dan mau belajar dari museum.
Pemerintah pun berupaya mengampanyekan "mindset" bahwa museum bukan sekadar tempat menyimpan benda-benda kuno, namun juga sebagai insitusi yang bisa menumbuhkan ekonomi kreatif ke depannya.
"Suatu argumen yang bagus jika mereka ingin menciptakan masyarakat yang kreatif di Indonesia," kata Charles Esche, Direktur Van Abbemuseum, museum seni modern dan kontemporer di Eindhoven, Belanda.
Dalam bincang santai setelah setelah memberikan kuliah umum, yang diselenggarakan oleh lembaga kebudayaan Inggris British Council di Universitas Indonesia beberapa waktu lalu, Esche berbagi pandangannya tentang bagaimana mengelola suatu museum.
Menurut kurator dan penulis berkewarganegaraan Inggris itu, bagaimana mendidik masyarakat menjadi hal yang perlu diutamakan oleh para pihak pengelola museum dan galeri di Indonesia.
"Museum adalah suatu tempat untuk menciptakan masyarakat yang lebih kreatif dan sehingga akan muncul ide-ide ekonomi kreatif dari sana. Dan museum adalah tempat di mana masyarakat bisa dibentuk," kata Esche.
Melalui pameran dan koleksi-koleksi di museum, masyarakat bisa dipicu untuk mengembangkan argumen dan belajar dengan catatan pihak museum mempunyai program yang konsisten,, kata dia.
Kemudian pria yang telah malang melintang melakukan kurasi sejumlah pameran seni kontemporer internasional itu ingat akan pengalamannya ketika mengunjungi salah satu museum di Jakarta.
"Saya melihat pameran yang mengagumkan di Galeri Nasional tentang Diponegoro beberapa bulan lalu. Saya sangat terkesan dengan pameran tersebut. Pameran itu berlangsung selama dua pekan, dan bagi saya itu sangat tidak masuk akal," kata pria yang tahun ini menjadi kurator untuk pameran seni kontemporer Jakarta Biennale 2015 itu.
Sangat tidak masuk akal karena dalam waktu sesingkat itu, tujuan dari museum sebagai tempat untuk mendidik masyarakat tidak berjalan dengan semestinya.
Esche bisa berpendapat demikian karena di museum yang dia pimpin, suatu pameran bisa berlangsung tiga bulan hingga tujuh bulan, tidak hanya dua pekan dan kemudian hilang dari radar masyarakat.
Sementara itu, beberapa waktu yang lalu, Museum Nasional Indonesia sempat mengadakan pameran permainan tradisional, namun hanya berlangsung dua hari dari 23-24 Mei.
Dalam waktu yang terlalu singkat, suatu pameran tidak
"Ketika orang pergi mengunjungi museum, mereka membangun opini mereka, namun hanya dalam beberapa pekan saja pameran tersebut berakhir dan suatu pameran yang sama sekali berbeda menggantikannya".
Cara pengelolaan yang demikian dipandang kurang membangkitkan rangkaian argumen dan konsistensi dari satu pameran ke pameran yang lainnya sehingga masyarakat teredukasi.
Oleh karena itu, museum hanya berfungsi sebagai ruang di mana hal apa saja bisa terjadi. "dengan kata lain, suatu pameran yang sangat bagus dan pameran lain yang sangat jelek bisa terjadi beriringan," kata Esche.
Bagaikan menulis buku yang terdiri atas beberapa bab, merancang suatu program rangkaian pameran itu harus ada kesinambungan dan hubungan yang bisa membantu membangun masyarakat.
"Tidak mungkin suatu buku itu ditulis oleh satu pengarang, kemudian dilanjutkan oleh pengarang lain. Akan sangat membingungkan," kata dia.
Tak terhitung potensi yang bisa dikembangkan di Indonesia dengan beraneka ragam koleksi yang ada. Mulai dari peninggalan zaman purbakala hingga sejarah bangsa Indonesia di abad modern.
"Pertanyaannya bukan lah tentang koleksi-koleksi tersebut, namun lebih kepada apa yang kalian lakukan dengan koleksi-koleksi itu?".