Ekonom rekomendasikan relaksasi PPN guna pacu kontribusi manufaktur terhadap devisa negara

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara, ekonom

Ekonom rekomendasikan relaksasi PPN guna pacu kontribusi manufaktur terhadap devisa negara

Pekerja merakit sepeda motor listrik Gesits di pabrik PT Wika Industri Manufaktur (WIMA), Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (27/10/2021). (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj/aa.)

Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira merekomendasikan pemerintah menerapkan relaksasi tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang saat ini 11 persen dan 12 persen di 2025, menjadi 7-8 persen guna lebih memacu kontribusi sektor manufaktur terhadap devisa negara.

"Perlu dukungan dari pemerintah untuk jaga demand side lewat relaksasi tarif PPN," kata dia dihubungi di Jakarta, Selasa.

Menurut dia rekomendasi itu diberikan mengingat laporan S&P Global Market Intelligence yang menyatakan Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia pada bulan Juni mengalami pelemahan 1,4 poin menjadi 50,7 dibandingkan bulan sebelumnya.

Dirinya menjelaskan penerapan relaksasi tarif PPN itu bersifat sementara (temporary), khususnya diterapkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025.

Lebih lanjut, Bhima menyampaikan penyebab penurunan PMI manufaktur tersebut terkait dengan naiknya biaya bahan baku karena pelemahan nilai tukar rupiah, selanjutnya masih tingginya rasio suku bunga, serta adanya tekanan inflasi bahan makanan, sehingga membuat permintaan terhadap produk industri mengalami penurunan.

Selain merekomendasikan untuk melakukan relaksasi tarif PPN, ia juga ingin pemerintah melakukan pengendalian inflasi pangan, ekspansi pasar ekspor alternatif, memberikan diskon tarif listrik 40-50 persen di jam beban puncak, serta melakukan kembali pengetatan impor.

"Impor barang jadi perlu dibatasi dengan tarif dan kebijakan non-tarif," kata dia.

Di sisi lain pakar ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menyampaikan perlu adanya persiapan yang optimal bila relaksasi PPN diterapkan, mengingat apabila pajak diturunkan berpotensi mengganggu penerimaan negara yang berujung pada defisit perekonomian

"Harus kita siapkan dulu di sisi yang lainnya, karena kalau penerimaan itu turun, sementara belanja pemerintah masih diharapkan naik dengan semua program-program pemerintah, artinya defisit melebar, defisit melebar itu berarti utangnya naik," kata dia.

Sebelumnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan perlunya penyesuaian pengaturan impor untuk mendongkrak optimisme pelaku industri di tanah air yang terpengaruh oleh pengetatan pasar global, serta adanya regulasi perdagangan yang kurang mendukung.

Penyesuaian kebijakan atau policy adjustment yang diperlukan antara lain mengembalikan pengaturan impor ke Permendag No. 36 Tahun 2023, serta pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk sejumlah komoditas.

Baca juga: Kinerja manufaktur Indonesia pertahankan ekspansi beruntun selama 26 bulan

Baca juga: Ekonom: Ada lonjakan nilai investasi manufaktur pada satu dekade terakhir