Rieke Kritisi Gerakan Politik Perempuan

id rieke kritisi, gerakan politik perempuan

Rieke Kritisi Gerakan Politik Perempuan

Pekanbaru, (ANTARARIAU News) - Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, sehubungan dengan peringatan Hari Ibu ke-83, 22 Desember 2011 ini, menyorot kritis dinamika dan pengalaman pemberangusan gerakan politik perempuan Indonesia.

"Kita pernah merasakan gerakan (politik) perempuan 'dipasung' pada era Orde Baru, dengan mengerdilkan sejarah hadirnya 22 Desember dalam peta penting percaturan politik," tandasnya kepada ANTARA Pekanbaru, melalui jejaring komunikasi, Kamis.

Ketika itu, menurutnya, kaum perempuan 'dikandangi', ditarik kembali sekadar sosok manusia yang disebut 'ibu', dan hanya jadi penjaga serta pengelola dalam wilayah "sumur-dapur-kasur".

"Padahal, jika kita menghayati dan memaknai sejarah perjuangan bangsa, maka setelah Sumpah Pemuda 1928, pada tanggal 22-25 Desember 1928 digelar perhelatan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta," tuturnya.

Kongres ini, lanjutnya, menghasilkan keputusan-keputusan yang dianggap sebagai tonggak terlibatnya kaum perempuan dalam kancah politik Indonesia.

"Lalu, Bung Karno (Presiden Pertama RI) menetapkan 22 Desember sebagai Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia (dalam) Politik. Sayang, pada masa orde baru, sejarah ini telah dihapus dari memori bangsa," tandasnya.

Kemudian, demikian Rieke, keterlibatan perempuan dalam politik 'diberangus'.

"Bahkan, gerakan perempuan 'dipasung'. Soeharto mengerdilkan sejarah hadirnya 22 Desember dalam peta penting percaturan politik. Perempuan 'dikandangi', ditarik kembali sekedar sosok manusia yang disebut 'ibu'," katanya lagi.

Jangan Lepas Sejarah

Rieke Diah Pitaloka yang kini dicalonkan sebagai Gubernur Jawa Barat, mengatakan pula, sorotan kritisnya ini bukan hendak mengecilkan arti peran seorang 'ibu' dalam wilayah domestik.

"Namun yang patut diingat dan disadari, keterlibatan perempuan dalam politik, jelas dapat menentukan naiknya derajat kehidupan perempuan dalam ruang domestik," tegas aktivis perempuan yang begitu populer ketika memberjuangkan lahirnya Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ini.

Lagi pula, menurutnya, tak elok rasanya kalau penetapan peringatan sebuah tanggal dilepaskan dari 'peristiwa sejarah' yang melatarbelakanginya (Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia, 22 Desember)," tandasnya.

Pendek kata, demikian Rieke, seperti yang selalu diulang-ulangnya di setiap perayaan 22 Desember, "bahwa ini bukan hari 'ibu', tapi Hari Kebangkitan Politik Perempuan Indonesia."

"Karena, di dalamnya ada sebuah gerakan bersama, kolektivitas untuk kepentingan bersama. Itulah esensi politik yang sesungguhnya, termasuk memberi ruang bagi mereka yang termarginalkan untuk tak sekedar jadi obyek, namun justru sebagai subyek dalam putusan-putusan politik," katanya.

Dikatakannya pula, setiap tanggal 22 Desember, dia selalu mengenang almarhumah ibu, tapi tidak sekedar karena fungsinya mengelola "sumur-dapur-kasur".

"Kenangan ibu pada 22 Desember sebagai manusia yang punya kedudukan yang sama di hadapan hukum, yang punya hak dan kewajiban yang sama dalam bela negara," tuturnya.

Mengirim Surat Terbuka

Rieka Diah Pitaloka menambahkan, dirinya selalu mengirimkan doa istimewa pada tanggal 22 Desember untuk sang ibu tercinta, karena jasanya meletakkan landasan pemikiran politis padanya, anak perempuannya.

Kali ini pula ia mengirim surat terbuka kepada semua perempuan dan siapa pun yang terlahir dari seorang ibu tercinta. Juga buat siapa saja yang memperingati tanggal 22 Desember.

"Ini yang juga akan saya lakukan pada anak-anak saya kelak untuk tahu bahwa dirinya adalah 'zoon politicon', mahluk politis yang tak mungkin memisahkan diri dari sebuah struktur politik. 'Wherever you go will be a polis'," ujarnya.

Ia kemudian menyatakan sambutan hangatnya atas datangnya 22 Desember 2011, sembari memberi selamat merayakan kebangkitan politik perempuan Indonesia.

"Saatnya perempuan terlibat dan melibatkan diri dalam keputusan-keputusan politik dengan gagasan politik yang memuliakan manusia, agar beradab dan bermartabat, tidak dengan gagasan 'tubuh perempuan' sebagai strategi politik parnea, politik yang menghalalkan segala cara," tandas Rieke Diah Pitaloka.