Pekanbaru (Antarariau.com) - Pemandangan serba putih penuh "jerebu" asap kebakaran di udara menjadi pemandangan yang tidak terbantahkan di hampir seluruh Pulau Sumatera pada awal September 2015. Kepanikan ribuan calon penumpang yang gagal berangkat memenuhi Bandara akibat pembatalan penerbangan mulai dari Kota Pekanbaru, Palembang, Jambi hingga Batam.
Khususnya di Kota Pekanbaru, beberapa hari terakhir ini banyak warga mengabadikan papan peringatan polusi udara di tepi jalan yang menunjukan seruan "Berbahaya" dengan kamera ponselnya. Mereka kemudian menyebarkan foto tersebut ke berbagai media sosial dengan penuh keprihatinan, yang seakan menyuarakan kerinduan akan udara segar adalah sebuah impian yang mahal saat ini.
Pada tahun ini tercatat sudah 18 tahun lamanya masalah asap mendera Provinsi Riau yang berjuluk "Bumi Lancang Kuning". Pemerintah Indonesia di era Presiden Joko Widodo awalnya sangat berharap dari Riau bisa menghasilkan solusi sebagai daerah percontohan penanggulangan kebakaran lahan dan hutan. Tapi, lagi-lagi Riau jatuh ke lubang masalah yang sama akibat kelemahan pada perencanaan dan kurangnya ketegasan pemimpin daerah.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sempat berulang kali mengunjungi Riau untuk mendorong pemerintah daerah meletakan pondasi perencanaan, yang menghasilkan Rencana Aksi Pencegahan Kebakaran Lahan dan Hutan Riau pada Februari 2015.
Ada empat poin penting dari rencana aksi tersebut yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya kebakaran. Pertama, adalah perencanaan berupa program penyekatan kanal-kanal liar. Kedua adalah moratorium pemberian izin di hutan alam, kemudian penegakan hukum, dan yang keempat mengevaluasi izin di yang sudah diberikan di area hutan rawa gambut.
Pemerintah sepakat bahwa kebakaran lahan dan hutan terus terjadi karena rusaknya ekosistem hutan rawa gambut akibat pembuatan kanal-kanal liar telah "menyedot" keluar kandungan air. Akibatnya ketika musim kemarau tiba, lahan rawa gambut jadi mudah terbakar, api akan sulit dipadamkan dan menimbulkan asap yang pekat.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) kemudian merujuk pada pembuatan sekat kanal di Sungai Tohor, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, pada 2014 yang kini berhasil merestorasi kerusakan lahan gambut daerah itu. Padahal, Desa Sungai Tohor pada tahun lalu mengalami kebakaran sangat hebat, namun kini nyaris tidak terjadi kebakaran setelah masyarakat setempat membangun 13 sekat kanal secara bergotong-royong. Dananya merupakan bantuan dari Presiden Joko Widodo dan Kementerian LHK, dengan biayanya yang tidak terlalu mahal yaitu Rp15 juta untuk satu sekat kanal.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kemudian mendukung program sekat kanal dengan target ambisius, yaitu membuat 1.000 sekat kanal pada tahun 2015 dengan sokongan dana siap pakai Rp15 miliar dari anggaran penanggulangan bencana tahun ini. BNPB meminta Pemprov Riau memberikan usulan lokasi-lokasi sekat kanal di daerah rawan kebakaran, dan mengelola dana tersebut saat status siaga darurat kebakaran diberlakukan.
Baru Sentuh Masalah Hilir
Namun, pada kenyataannya kebakaran lahan dan hutan kembali terulang di Riau pada tahun ini. Penggiat lingkungan dan pakar lingkungan menyayangkan belum ada tindakan yang nyata dari poin-poin penting pada rencana aksi pencegahan kebakaran yang diluncurkan di Riau.
Peneliti gambut tropis Universitas Riau Dr. Wawan menyebutkan bahwa Pemprov Riau hingga kini belum membangun 1.000 sekat kanal (canal blocking) meski dana dari BNP sudah tersedia. "Terkait kanal blocking, itu pastinya tidak main-main. Seharusnya sudah langsung ditangkap, langsung dikaji, langsung ditentukan, langsung turun anggaran dan segera diterapkan dari kemarin sebelum (kebakaran) ini terjadi," kata Dr Wawan di Pekanbaru, Senin (7/9).
Dr Wawan merupakan pakar dari Riau yang awalnya diminta oleh Kementerian LHK untuk mengkaji pembuatan "canal blocking" di Riau. Ia mengaku kecewa dan sangat menyayangkan sikap pemerintah daerah karena menimbulkan kesan lamban membangun kanal blocking yang direncanakan pada Juni tahun ini.
Padahal, pembangunan pintu-pintu penyekat itu berguna mengatur ketinggian air di lahan gambut terutama gambut dalam pada daerah-daerah wilayah Riau pesisir. Menurut dia, sebenarnya ada empat daerah di Riau telah menyatakan siap membangun sekat kanal terutama daerah memiliki lahan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang rawan kebakaran seperti Kabupaten Siak, Bengkalis, Rokan Hulu dan Pelalawan.
Pihaknya mendapat informasi soal pembangunan "canal blocking" di Riau terhambat karena permasalahan usulan harga dari Provinsi Riau yang terlalu mahal 10 kali lipat dari keinginan BNPB. "Kalau saya tidak salah usulan dari sana (pemerintah pusat) sekian, tahu usulan dari kita dinilai terlalu mahal. Itu yang kemudian tidak bisa berjalan pembangunan canal blocking, padahal itu sudah berapa bulan diundur," kata Wawan.
Hal senada juga diutarakan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau Riko Kurniawan, bahwa rencana aksi pencegahan kebakaran di Riau seharusnya sudah bisa menjadi pedoman yang jelas bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mencegah terulangnya bencana asap. "Niat baru sebatas di atas kertas, nyatanya adalah pemerintah masih menyentuh bagian hulu dari masalah kebakaran, yaitu menjadi pemadam kebakaran saja," kata Riko Kurniawan.
Ia mengatakan, pemerintah belum menyentuh masalah hulu kebakaran lahan bahwa masyarakat juga belum diberikan kemudahan maupun insentif untuk membuka lahan tanpa bakar. Poin rencana aksi evaluasi izin padahal pada 2014 audit kepatuhan terhadap perusahaan-perusahaan industri kehutanan dan kelapa sawit telah dilakukan oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Ironisnya, Riko mengatakan UKP4 justru dibubarkan setelah audit selesai dan program itu seperti dibiarkan begitu saja.
"Padahal, kalau pemerintah pusat dan daerah mau, audit kepatuhan itu tinggal dilanjutkan saja dan diperluas," katanya.
Ia mengatakan evaluasi terhadap perusahaan secara ketat tidak boleh berhenti untuk memastikan semua perusahaan untuk beroperasi secara legal dan memiliki kemampuan serta infrastruktur menjaga konsesi dari kebakaran. "Pemerintah seharusnya tegas dalam pembinaan, dan perusahaan yang tidak mau dibina lebih baik dibinasakan daripada mengakibatkan kerusakan lingkungan," tegasnya.
Riko mengatakan, penegakan hukum terhadap pelaku kebakaran hutan juga terbukti belum menimbulkan efek jera dan cenderung jalan di tempat. Dari 10 kasus kebakaran lahan melibatkan korporasi yang ditangani Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2013-2014 di Riau, hingga kini hanya satu yang berujung ke pengadilan yakni PT Jatim Jaya Perkasa (JJP).
"Itu pun yang dihukum hanya pekerja sekelas mandor saja. Tidak akan ada efek jeranya," ujar Riko.
Belum adanya kesepahaman tentang penegakan hukum lingkungan antara polisi, jaksa dan hakim, dinilai telah membuat efek jera terhadap pembakar hutan tidak ada. Contohnya pada kasus kebakaran dengan tersangka korporasi PT National Sago Prima (NSP) di Kabupaten Kepulauan Meranti yang oleh Hakim Pengadilan Bengkalis dinyatakan tidak bersalah pada sidang putusan awal 2015.
"Kasus NSP jadi preseden buruk bagi penanganan kasus kebakaran di Indonesia, dan penanggulangan kebakaran terkesan hanya proyek pemadaman kebakaran setiap tahunnya" kata Riko.
Bantah Menolak Sekat Kanal
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman, membantah pihaknya menolak dana tersebut, melainkan tidak berani melaksanakan karena tidak ada petunjuk teknis yang jelas.
"Kami bukannya menolak dana itu, tapi karena kami masih menunggu petunjuk teknis dari BNPB dalam penggunaan dana itu, dan sampai sekarang belum ada. Tahu sendiri lah, sekarang ini tidak bisa sembarangan menggunakan dana, ada konsekuensi hukumnya," kata Arsyadjuliandi Rachman kepada Antara di Posko Siaga Darurat Kebakaran Lahan dan Hutan Riau di Pekanbaru, Jumat (4/9).
Meski begitu, Pemprov Riau pun secara tidak langsung menolak dana tersebut karena berencana menganggarkan sekat kanal di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan 2015. Namun, Plt Gubernur Riau mengaku tidak tahu persis berapa usulan anggaran sekat kanal yang diajukan. "Saya belum tahu berapa, tunggu nanti konkretnya setelah pembahasan antara TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) dan Banggar (Badan Anggaran DPRD)," katanya.
Direktur Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian LHK, Raffles B. Panjaitan, mengatakan sudah sejak lama Menteri LHK Siti Nurbaya mengeluhkan kurangnya ketegasan dan komitmen Pemprov Riau dalam melakukan perencanaan penanggulangan bencana asap. Pemprov Riau hingga kini belum menunjuk siapa pejabat pembuat komitmen yang bertanggung jawab dalam penggunaan dana program sekat kanal.
Kurang tegasnya kepala daerah juga terlihat dari lambannya Riau memperpanjang status siaga bencana yang habis pada 31 Maret lalu, yang akibatnya kebakaran "menggila" lagi karena Posko Siaga Darurat Riau baru efektif sepenuhnya pada bulan Juni.
Berdasarkan data Satgas Siaga Kebakaran Riau, hingga Agustus ini sudah lebih dari 3.340 hektare lahan terbakar, dan lebih dari Rp60 miliar dana sudah habis untuk proses pemadaman kebakaran. Sementara itu, kebakaran makin meluas mengakibatkan sekolah terpaksa diliburkan, puluhan penerbangan di Bandara Pekanbaru dibatalkan, dan 15.234 lebih warga terserang berbagai penyakit akibat asap.
"Terlambat satu bulan saja, kebakaran besar sudah terjadi lagi di Riau. Padahal, kita berharap gubernur langsung tanggap memperpanjang status siaga yang bisa digunakan untuk upaya pencegahan dengan melaksanakan program sekat kanal," katanya.
Berdasarkan sumber Antara, BNPB dan Kementerian LHK sudah cukup lama mengeluhkan sikap Pemprov Riau yang tidak serius dalam melaksanakan program sekat kanal padahal anggaran sudah disiapkan. Kondisi tersebut diperburuk karena kurangnya ketegasan kepala daerah untuk mendorong dinas-dinas terkait, seperti dinas perkebunan, dinas kehutanan dan badan lingkungan hidup untuk melakukan pengawasan serta mendukung upaya penegakan hukum.
Sumber itu mengatakan, keengganan pejabat di Riau melaksanakan program tersebut diduga akibat proposal usulan sekat kanal yang diajukan melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Riau ditolak mentah-mentah oleh BNPB. Sumber itu mengatakan, anggaran yang diajukan Pemprov Riau lebih mahal 10 kali lipat dari pembuatan kanal yang dianggarkan BNPB sebesar Rp15 juta per kanal.
"Mereka membuat anggaran sekat kanal permanen dengan anggaran Rp150 juta hingga Rp200 juta per kanal dan butuh kontraktor untuk mengerjakannya. Itu tidak disetujui oleh Kepala BNPB (Syamsul Maarif) yang menginginkan sekat semipermanen dan melibatkan masyarakat setempat secara bergotong-royong supaya ada rasa memiliki. Akhirnya, proposal itu dimentahkan dan setelah dihitung-hitung lagi, BNPB hanya menganggarkan Rp15 miliar atau Rp15 juta untuk satu kanal," katanya.
Semenjak saat itulah, pejabat di Riau terlihat enggan menindaklanjuti program sekat kanal. "Saya pun heran, seperti hanya proyek saja yang ada di otak pejabat Riau," keluh sumber itu.
Meski kesal dengan perilaku pemerintah daerah, Menteri LHK Siti Nurbaya tetap mencari cara agar dana yang sudah tersedia di BNPB untuk sekat kanal bisa digunakan. Ia mengatakan sedang menyusun skema bagaimana dana sekat kanal bisa langsung disalurkan ke rekening desa yang sudah ditetapkan tanpa melalui Pemprov Riau. Dengan begitu, proses birokrasi makin cepat dan pemerintah hanya sebagai pengawas dan pendamping.
"Jadi seperti skema dana desa, itu yang sedang saya pikirkan bersama kawan-kawan di kementerian," kata Siti Nurbaya ketika dihubungi Antara melalui sambungan telepon pada pekan lalu.
Presiden Turun Tangan Lagi
Kondisi asap yang memburuk plus lemahnya kinerja pemerintah daerah ternyata mulai membuat gerah pemerintah di Jakarta. Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung turun meninjau kebakaran di Sumatera Selatan pada 6 September lalu untuk memerintahkan aparat keamanan menindak tegas perusahaan-perusahaan yang membakar lahan sehingga menyebabkan kabut asap di enam provinsi.
"Sudah saya perintahkan ke Kapolri untuk ditindak setegas-tegasnya, sekeras-kerasnya untuk perusahaan yang tidak mematuhi," ujar Presiden Jokowi saat meninjau kebakaran hutan di Dusun Pulau Geronggang, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Presiden juga mengingatkan kepada seluruh kementerian lembaga, TNI/Polri, dan semua yang terkait, bahwa tindakan yang terbaik adalah tindakan preventif. Presiden Jokowi mengatakan bahwa dirinya tidak sekali dua kali menyampaikan peringatan kepada sejumlab perusahaan peekebunan yang masih membakar lahannya.
"Sudah saya sampaikan ke Kemenhut, kalau iya cabut-cabut, kalau ada pidananya nanti diproses di Kapolri," ujar Jokowi.
Presiden Jokowi meminta untuk segera menyelesaikan masalah kebakaran lahan di lapangan, dan tahun depan pencegahan harus dinomorsatukan. "Jangan sudah kebakaran luas ini menjadi sulit. Jadi tadi saya sampaikan, saya tidak ingin lagi bicara masalah penyebabnya apa, solusinya apa. Semuanya sudah tahu apa yang harus dilakukan," ujar Jokowi.
Menanggapi hal itu, Riko Kurniawan dari Walhi menyatakan penegakan hukum masalah kebakaran adalah bagaikan berhadapan dengan jaringan mafia. Selama penegak hukum ragu bahkan tidak berani membongkar mafia tersebut, maka semua perintah Presiden Jokowi akan sia-sia.
"Mafia ini melibatkan uang yang banyak dan pihak-pihak yang terlibat dibelakangnya. Memang tidak mudah keluar dari masalah asap, tapi bukan hal yang tidak mungkin dilakukan," pungkas Riko Kurniawan.