Merajut Mimpi Hutan Desa yang Terkoyak (Bagian I)

id merajut mimpi, hutan desa, yang terkoyak, bagian i

Merajut Mimpi Hutan Desa yang Terkoyak (Bagian I)

Hutan Desa Segamai dan Serapung digadang-gadang oleh pemerintah dan aktivis lingkungan sebagai solusi jitu menghentikan deforestasi lewat pengelolaan berkelanjutan berbasis masyarakat lokal, di kawasan hutan Semenanjung Kampar, Provinsi Riau.

Semua orang terlihat serba terburu-buru di Desa Segamai, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan pada akhir Juli 2013. Dalam waktu sehari, desa kecil di muara Sungai Kampar itu langsung "bersolek" karena bakal kedatangan pejabat penting, yakni Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan.

Sejumlah warga bergotong-royong mulai menghias pendopo dekat pasar desa. Bau amis ikan langsung disingkirkan, tangga yang goyang langsung dipaku, seniman organ tunggal menggeber lagu dangdut keras-keras, dan baleho raksasa sudah berdiri tegak bergambar Sang Menhut bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang menanam pohon.

Raut senang terpancar dari wajah Eddy Siritonga, warga setempat, yang dipercaya sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Segamai. Sebab, Menhut rencananya akan langsung "blusukan" meninjau langsung Hutan Desa Segamai.

Eddy sekeluarga demi acara itu rela berbagi rumah kayu mungilnya menjadi tempat menginap belasan aktivis lingkungan dan jurnalis dari Jakarta dan Pekanbaru.

Karena saat itu adalah hari ke-20 bulan Ramadhan, keluarga Eddy juga tak lupa menyiapkan makan sahur untuk tamu-tamunya.

Bau sedap gulai asam pedas ikan patin, dan nasi putih mengepul terlihat menggugah selera makan di pagi buta.

Usai subuh, lelaki 34 tahun itu sudah rapi mengenakan baju batik lengan pendek warna coklat membalut tubuh tegapnya. Dan saat matahari mulai memancar dari ufuk timur, ia sudah berada di atas perahu untuk menuju ke hutan desa. Tangan kanannya memegang parang, sedangkan pacul ditangan kirinya.

"Ini untuk membabat alas buat jalan menteri," katanya.

Penebusan dosa

Hutan desa buat warga Desa Segamai memiliki sejarah kelam dibelakang mereka, dan harapan besar ke depannya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir setiap lelaki di daerah Teluk Meranti, termasuk Desa Segamai, pernah terlibat dalam pembalakan liar besar-besaran di hutan Semenanjung Kampar.

Kawasan yang kerap disebut warga dengan "hutan seberang" pada masa kelamnya sangat marak dengan pembalakan liar, di mana Teluk Meranti pada era tahun 1998 hingga awal 2000-an merupakan pusat dari kejahatan lingkungan itu. Tempat itu kerap disebut daerah tanpa hukum, juga bagaikan terminal kayu sebelum "mengalir" ke negeri tetangga Malaysia dan Singapura.

Eddy Siritonga mengisahkan saat itu dirinya masih sangat muda. Hampir setiap hari cukong-cukong kayu berkeliaran menawarkan pinjaman kepada warga untuk modal membalak kayu alam.

Eddy jadi salah satu lelaki yang tergiur untuk merambah hutan. Ia membentuk kelompok berisi 6-8 orang, dan pergi ke hutan untuk menebangi kayu.

"Sejak saya tamat SMA tahun 1998 sampai 2003, saya bekerja sebagai pencari kayu dihutan," katanya.

Kayu yang menjadi incaran adalah jenis Meranti dan Sungkai, kini dua jenis pohon itu sudah sangat sulit ditemukan. Dahulu pada masa pembalakan liar, kayu jenis tersebut banyak bertebaran dengan diamater 120 centimeter dan minimal 60 centimeter.

Uang "panas" dari pembalakan liar membuat Eddy kecanduan karena dalam sebulan bisa memiliki penghasilan sampai Rp2 juta, yang kini bisa setara dengan Rp5 juta. Hidupnya mewah, namun tidak bermanfaat karena uang langsung habis ditempat hiburan malam dan pelacuran di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

"Duit memang banyak, tapi cepat habis karena itu bukan kerja yang membawa berkah," ujarnya.

Akhirnya ayah satu anak ini memutuskan berhenti sebagai pembalak liar untuk "banting setir" menjadi seorang petani, dan mulai merintis karir sebagai guru. Meski begitu, ia menyadari candu pembalakan liar membawa warga masuk ke jurang kemelaratan karena terlilit hutang dengan cukong kayu.

"Sampai sekarang masih ada hutang yang tidak terbayar," ujarnya.

Penyesalan terbesar adalah warga kini sulit mendapatkan kayu untuk membangun rumah, karena harus berjalan jauh ke dalam hutan. Selain itu, ia menemukan kenyataan bahwa tanaman obat-obatan yang dulu mudah ditemukan di "hutan seberang" kini kian langka.

Ia mengatakan pada 2007 pegiat lingkungan dari Yayasan Mitra Insani (YMI) masuk ke daerah itu dan memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk membenahi kesadaran tentang pelestarian hutan. Warga kini paham bahwa ada aturan negara yan memberi hak pengelolaan masyarakat untuk hutan desa.

Warga Desa Segamai dan Serapung akhirnya mengusulkan hutan seberang dijadikan hutan desa pada tahun 2010 kepada Bupati Pelalawan waktu itu Rustam Effendi. Usulannya adalah area seluas 7.530 hektare eks Hak Penguasaan Hutan (HPH) PT Agam Sentosa.

"Usulah kami ditolak mentah-mentah," katanya.

Sekali ditolak tidak pula kendor semangat, karena pada tahun 2011 masyarakat kembali mengusulkan area yang sama kepada Bupati Pelalawan yang baru menjabat, yakni HM Harris.

"Kami mendapat rekomendasi, tapi luasnya berkurang untuk Hutan Desa Segamai tinggal 2.000 hektare," ujarnya.

Penantian cukup panjang akhirnya membuahkan hasil pada 8 Maret 2013, ketika Menteri Kehutanan akhirnya mengabulkan izin pengelolaan Hutan Desa Segamai dan Serapung secara bersamaan. Hutan Desa Serapung ditetapkan dengan luas 1.956 hektare, sedangkan Hutan Desa Segamai dapat luas 2.270 hektare, lebih luas dari rekomendasi bupati.

Warga juga bisa berbangga hati karena dua hutan desa itu adalah yang pertama di Riau yang mendapat pengakuan dari Kementerian Kehutanan.

Pendamping YMI untuk hutan desa, Herbert, mengatakan dengan adanya izin hutan desa, maka warga Segamai dan Serapung bisa mengelola "hutan seberang" selama 35 tahun mendatang. Meski begitu, resminya status hutan desa itu baru merupakan awal dari perjalanan panjang melestarikan lingkungan.

Sebab, kondisi hutan desa diakuinya juga banyak yang telah rusak akibat perambahan sehingga memerlukan restorasi berupa penghijauan.

"Di Hutan Desa Serapung area yang harus direstorasi ada sekitar 500 hektare, sedangkan kondisi di Segamai relatif lebih baik hanya beberapa persen saja yang rusak," kata Herbert.

Menurut dia, yang paling penting kini adalah niat dan wujud nyata dari masyarakat untuk menjaga hutan desa mereka.

"Dulu sempat ada 10 kelompok pembalak liar di Hutan Desa Serapung, namun mereka berhenti sendiri setelah tahu area itu kini berstatus hutan desa," katanya.

Warga Desa Segamai, Manaf (31), mengakui dukungan warga terhadap hutan desa sekaligus sebagai bentuk penebusan dosa mereka yang telah merusak hutan di masa lalu.

"Iya, kami sadar terlalu rakus menebangi hutan. Semoga saja ini bisa menebus dosa kami," kata Manaf yang juga pernah berprofesi sebagai pembalak liar.

Ia mengaku bersyukur bisa berhenti menjadi pembalak liar, dan kini saatnya mengabdi menjaga hutan desa untuk bisa diwariskan kepada anak-cucu di masa depan.

"Kalau hutan sudah habis nanti kasihan anak-anak kita tidak tahu lagi pohon Meranti itu apa," katanya.

Kabar buruk

Sudah lebih dari setengah jam Eddy Siritonga membabat semak belukar yang tumbuh liar di hutan desa. Tujuannya satu, mencari pohon yang tinggi dan rimbun untuk dilihat Menhut Zulkifli Hasan.

Namun, bukan hal yang mudah untuk mencari tegakan kayu alam di hutan desa. Sebab, disekeliling Eddy lebih banyak tumbuh belukar setinggi satu meter ketimbang pohon.

Tidak ada pemandangan lebatnya hutan hujan tropis begitu masuk ke hutan desa Serapung dan Segamai.

"Untuk melihat pohon-pohon yang lebat harus jauh jalan kedalam," katanya.

Setelah nyaris putus asa, pilihan akhirnya jatuh pada dua tegakan pohon Meranti dekat tepi kanal. Daunnya tidak rimbun dan satu pohon lainnya agak membungkuk diujungnya.

Tinggi keduanya lebih dari 10 meter dan terlihat paling menjulang karena disekelilingnya lebih banyak semak ketimbang pohon.

Eddy kemudian membersihkan sekelilingnya dari semak agar bisa digunakan sebagai tempat berdiri Menhut. Wajah Eddy terlihat berkilat keperakan ketika sinar matahari menyapu kulit hitamnya yang penuh peluh.

Melawan panas dan lelah disaat bulan puasa sungguh berat, namun ia tetap mengayunkan parangnya untuk membersihkan semak.

"Panggung" untuk Menhut di hutan desa sudah siap, namun tamu penting itu belum terlihat juga. Informasinya, Menhut terbang dari Pekanbaru menggunakan helikopter langsung untuk melihat hutan desa bersama pejabat lainnya.

Satu hingga dua jam berlalu cepat didalam hutan. Tanpa ada tanda-tanda kejelasan membuat pikiran buruk mulai berkecamuk dibenak Eddy.

Dan kabar buruk itu akhirnya datang: Menhut batal meninjau hutan desa! Helikopter yang ditumpangi Menhut justru langsung mendarat dilapangan bola Desa Segamai yang berjarak sekira dua jam dari hutan desa.

"Aneh bin ajaib. Lemas saya dibuatnya," keluh Eddy yang hanya bisa terbengong dengan tatapan kosong. (Bersambung)