Konsep ideal hutan desa di Provinsi Riau dibayangi oleh sengkarut masalah kehutanan, yang terlalu berat jika hanya dibebankan kepada masyarakat disekitar hutan. Apalagi, ketika mereka masih bergumul dengan kemiskinan.
"Kami hanya ingin satu, menyelematkan hutan yang tersisa," kata Eddy Saritonga, Ketua Pengelola Hutan Desa Segamai kepada Antara pada akhir Juli 2013.
Pria 34 tahun itu begitu semangat kalau membicarakan mengenai hutan desa. Namun, ia mengaku masih buta perihal rencana pengelolaannya nanti.
"Pengelolaannya masih dipikirkan, tapi warga sudah melakukan penanaman pohon Jelutung sebanyak 1.000 bibit di hutan desa," katanya.
Desa Segamai merupakan desa yang baru berusia 10 tahun, setelah dimekarkan dari Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan.
Sekitar 1.112 jiwa di desa itu masih hidup dalam kemiskinan, di tengah daerah yang cukup terpencil di muara Sungai Kampar.
Menuju desa itu butuh waktu tujuh jam dari Kota Pekanbaru. Lima jam perjalanan dengan kendaraan bermotor hanya bisa mencapai Ibukota Kecamatan Teluk Meranti. Dari sana perjalanan dilanjutkan dengan kapal kayu bermesin selama sekira dua jam.
Mayoritas rumah penduduk Desa Segamai terbuat dari kayu. Jaraknya cukup berjauhan satu dengan lainnya. Jalan desa berupa semenisasi, yang hanya muat untuk dua sepeda motor, baru ada sepanjang sekira 200 meter dari pelabuhan desa. Selebihnya adalah jalan tanah gambut.
Hingga kini belum pernah layanan listrik PLN, apalagi air bersih, mencapai desa itu. Warga sudah terbiasa menggunakan air hujan untuk minum, dan air gambut berwarna hitam kemerahan untuk mandi dan cuci.
Ia mengatakan, sebenarnya pemerintah daerah memiliki proyek pembangunan Jalan Lintas Bono yang menghubungkan Kecamatan Teluk Meranti. Namun, sejak proyek itu dimulai 2004, hingga kini belum juga mencapai desa itu.
"Masalahnya adalah pembebasan lahan karena rute jalan itu harus melalui konsesi hutan tanaman industri perusahaan," katanya.
Akibat sangat terpencilnya daerah itu, belum ada warga Desa Segamai, yang berhak atas Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) mencairkan dana itu, sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Menurut Eddy, mencairkan dana sebesar Rp300 ribu itu ke kantor pos di kota terdekat sama saja bunuh diri.
"Dana BLSM cuma ada Rp300 ribu. Sedangkan, untuk sewa kapal lalu lanjut lagi ke kota, belum untuk makan, mana cukup dana itu. Kita bisa tekor dibuatnya," ujar Eddy.
Sedangkan, mayoritas warga kini menggantungkan hidup sebagai petani. Daerah itu selama ini terkenal sebagai penghasil jagung pipilan yang kerap digunakan sebagai pakan ternak.
"Tapi semenjak tidak bisa lagi mengambil kayu, penghasilan warga jauh berkurang," katanya.
Sejak lima tahun lalu, "latah" kelapa sawit mulai melanda desa itu. Suhardi (32), petani setempat, memilih bergeser menanam sawit karena perputaran uangnya dinilai lebih cepat.
Selama ini, petani setempat secara turun temurun bercocok tanam kelapa yang harus menunggu tujuh tahun untuk panen, dan jagung yang baru bisa panen dua kali setahun.
Namun, kini Suhardi sudah berani menanami dua hektare lahannya dengan jagung dan kelapa sawit dilahan yang sama.
"Kalau sawitnya sudah menghasilkan, saya tidak akan menanam jagung lagi," ujarnya.
Warga setempat ibarat berjudi dalam "latah" sawit karena mereka mengacu pada pola tanam konvensional.
Suhardi mengatakan metode pembersihan lahan masih akrab dengan membakar, dan nyaris tanpa pupuk.
Belum lagi harga sawit di daerah itu sangat rendah karena kendala infrastruktur. Harga tertinggi sawit sejauh ini hanya Rp1.200 per kilogram (kg), sedangkan kini harganya hanya berkisar Rp600-Rp400 per kg.
Harga itu sangat murah karena mereka menjual tidak langsung ke pabrik, melainkan kepada pengepul yang bisa meraup untung hingga dua kali lipat.
Dari sana, petani masih harus mengeluarkan ongkos untuk angkut dari kebun ke pelabuhan, sehingga untung bersih yang diterima petani tinggal Rp200 per kg. Dengan hasil panen rata-rata satu ton per hektare, berarti warga hanya mendapat Rp400 ribu dari dua kali panen dalam sebulan.
"Penghasilan petani memang tidak pernah menentu," keluhnya.
Terjepit
Dengan kondisi kehidupan masyarakat yang miskin, dan kondisi perut mereka yang harus dipikirkan, upaya masyarakat untuk menjaga dan mengembangkan potensi hutan desa jadi sangat terbatas. Apalagi, lokasi Hutan Desa Segamai-Serapung cukup jauh dari permukiman dan memerlukan biaya untuk menjaganya.
Lokasi hutan desa terjepit di tengah-tengah konsesi perusahaan HTI. Disekelilingnya ada konsesi hutan tanaman industri PT Satria Perkasa Agung (SPA) suplier kayu Asia Pulp and Paper. Kemudian ada konsesi Mitra Hutani Jaya, dan PT Triomas.
Hutan desa itu juga berbatasan dengan konsesi restorasi ekosistem PT Gemilang Cipta Nusantara (GCN).
Untuk menuju hutan desa, warga harus menyeberangi Sungai Kampar yang memakan waktu sekitar satu jam dengan perahu kayu bermesin. Pintu masuk yang biasa digunakan warga adalah melalui dermaga PT SPA, kemudian perjalanan dilanjutkan lewat kanal perusahaan menggunakan kapal lebih kecil sejauh 2,5 kilometer.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Rusmadya Maharuddin, mengatakan hutan desa merupakan cara untuk menekan deforestasi sekaligus bisa bermanfaat untuk warga. Dalam Pasal 32 Peraturan Menhut No.49/2008, lanjutnya, disebutkan bahwa hutan desa memiliki fungsi untuk pengembangan jasa lingkungan, restorasi ekosistem, kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar hutan, dan penguatan terhadap hak ulayat.
Namun, ia mengatakan bukan berarti masyarakat dibiarkan sendiri mengelolanya tanpa pengawasan dan pembinaan. Penggunaan kayu di hutan desa sangat dibatasi karena hanya bisa 50 meter kubik dalam setahun, dan itu harus mendapat izin dari Lembaga Pengelola Hutan Desa.
"Selain itu, pemerintah juga bisa mengevaluasi dan mencabut izin hutan adat apabila dalam dua tahun masyarakat tidak melakukan pengelolaan dengan benar," ujarnya.
Menurut dia, peluang hutan desa untuk masyarakat mustahil bisa langgeng tanpe peran dari semua pihak, khususnya pemerintah daerah. Sedangkan, LSM lingkungan juga memiliki keterbatasan sumber dana dan tidak mungkin selamanya mendampingi masyarakat untuk mengelola hutan desa.
"Kebijakan hutan desa seharusnya jangan setengah hati," katanya.
Dampak dari kebijakan setengah hati itu tercermin dari rendahnya realisasi pengembangan hutan kemasyarakatan dan hutan desa yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, yakni hanya 12 persen dari target 2014 yang seluas 2,5 juta hektare.
Berdasarkan data Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) perizinan hutan kemasyarakatan dan hutan desa oleh pemerintah daerah bahkan baru mencapai 3,36 persen.
Rendahnya realisasi itu tak lepas dari keterbatasan anggaran pembangunan hutan kemasyarakatan dan hutan desa. Sebab, LP3ES menilai kebutuhan anggaran untuk pembangunan hutan kemasyarakatan dan hutan desa di Indonesia mencapai Rp300 miliar per tahun. Namun Kementerian Kehutanan pada 2012 hanya bisa menganggarkan Rp21,6 miliar untuk keduanya.
Anggaran pembangunan hutan kemasyarakatan dan hutan desa untuk 2012 dari Ditjen Bina Pengolahan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDASPS) Kementerian Kehutanan lebih miris lagi karena hanya 0,82 persen dari jumlah tersebut.
Adanya kebijakan setengah hati juga diutarakan oleh pendamping hutan desa dari Yayasan Mitra Insani (YMI), Herbert, bahwa penetapan areal kerja Hutan Desa Segamai dan Serapung oleh Kementerian Kehutanan terlalu lama karena memakan waktu sampai dua tahun. Padahal, kalau mengacu pada Peraturan Dirjen No. 10/2010 dan No. 11/2010, seharusnya pelayanan penetapan maksimal selama 60 hari.
Selain itu, Herbert mengatakan proses administrasi dua hutan desa itu juga belum sepenuhnya selesai. Sebab, Kementerian Kehutanan juga perlu mendorong agar segera dilakukan deliniasi atau pentuan batas kawasan itu.
Selama ini, banyak kawasan konservasi rapuh dari penjarahan karena belum ada penetapan batas-batas yang paten dari pemerintah sendiri. Selain itu, Hutan Desa Segamai dan Serapung masih memerlukan satu izin dari Gubernur Riau agar pengelolaannya lengkap secara administrasi.
Kementerian Kehutanan sudah melayangkan surat melalui Dijen Bina Kelola DAS & Kehutanan Sosial Gubernur Riau pada 23 Mei lalu. Intinya, agar Gubernur Riau perlu menetapkan Hak Kelola Hutan Desa (HKHD) untuk pengelolaan Hutan Desa Segamai dan Serapung.
"Kita akan terus kejar izin itu," kata Herbert.
Sementara itu, Menhut Zulkifli Hasan mengatakan lamanya proses pengajuan hutan adat berada di tingkat pemerintah daerah karena harus mengantongi Peraturan Daerah di DPRD setempat. Menhut mengklaim proses penerbitan izin hutan desa di Kemenhut hanya membutuhkan waktu seminggu.
"Kalau permohonan hutan desa sudah di saya, satu minggu selesai," tegasnya.
Sejauh ini, Kementerian Kehutanan baru bisa memberikan masing-masing Rp50 juta sebagai bantuan dana pengembangan Hutan Desa Segamai dan Serapung. Karena itu, ia mengatakan peran pemerintah daerah diera desentralisasi juga sangat sentral untuk melakukan pendampingan dan mendorong pengembangan hutan desa.
"Termasuk juga pendanaan itu harus," kata politisi PAN itu.
Ia berharap banyak kegiatan positif dari hutan desa yang bisa meningkatkan ekonomi masyarakat, misalkan berupa perdagangan karbon dalam jasa lingkungan.
"Tidak semua bisa dikerjakan pemerintah pusat," katanya.
Peran swasta
Keberadaan Hutan Desa Serapung dan Segamai ternyata juga menarik perhatian pihak swasta untuk melakukan pengelolaan bersama. Direktur PT Gemilang Cipta Nusantara (GCN), Dian Novarina, mengatakan Hutan Desa Segamai-Serapung lokasinya berbatasan langsung dengan areal restorasi ekosistem PT GCN.
Baik areal PT GCN maupun areal hutan desa, lanjutnya, berlokasi di bagian tengah Semenanjung Kampar. Namun, kedua areal tersebut sudah terdapat ancaman kegiatan perambahan hutan dan pembalakan liar yang dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan.
Dengan kondisi tersebut, ia mengatakan sejak awal PT GCN menyadari bahwa kerja sama dengan pengelola hutan desa untuk menjaga keamanan kawasan adalah penting untuk dilakukan.
"PT GCN berkomitmen untuk melakukan upaya terbaik dalam pengamanan kawasan areal konsesi restorasi ekosistem, dan siap untuk bekerja sama melakukan pengamanan areal di kawasan tersebut bersama dengan masyarakat setempat dan pihak-pihak terkait lainnya," ujarnya.
Menurut dia, pihaknya selalu membuka diri karena kami yakin bahwa hal itu penting untuk menyukseskan program hutan desa maupun program restorasi ekosistem, dan tentunya secara umum untuk melestarikan Semenanjung Kampar.
"Kami berkeinginan untuk dapat berkontribusi secara nyata dalam upaya bersama berbagai pihak untuk menjaga hutan dan lingkungan di kawasan Semenanjung Kampar, sehingga bisa terjaga kelestariannya, produktif secara landscape, dan sekaligus dapat menyejahterakan masyakat," ujarnya.