Jalan panjang untuk keluar dari himpitan resesi ekonomi

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara,resesi

Jalan panjang untuk keluar dari himpitan resesi ekonomi

Sejumlah kapal melakukan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (18/3/2019). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww/aa.)

Jakarta (ANTARA) - Perbaikan pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2020 diperkirakan tetap terjadi meskipun tidak sesuai ekspektasi. Setidaknya ekonomi domestik tidak akan terlalu muram seperti yang terjadi pada kuartal II 2020 ketika Produk Domestik Bruto (PDB) menurun hingga minus 5,3 persen.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada 22 September 2020 mengumumkan proyeksinya bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kuartal III 2020 akan berada di kisaran minus 1 persen sampai minus 2,9 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Baca juga: Konsultan properti Colliers International ingatkan dampak resesi terhadap sektor ritel

Merujuk definisi resesi secara teknis, Menkeu telah memperkirakan Indonesia memasuki zona resesi di periode Juli-September 2020 ini atau pertama kalinya sejak krisis finansial pada 1998.

Definisi resesi memang kerap dipahami sebagai laju ekonomi negatif dalam dua periode waktu, atau kuartal secara beruntun. Namun, yang pasti gejala resesi tidak datang ujug-ujug. Tanda-tanda perlambatan kerap sudah terasa sebelum stempel resesi diberikan.

Gejala resesi di Indonesia sudah terlihat sejak awal tahun ketika Indonesia secara beruntun mengalami penurunan tahunan pertumbuhan PDB riil. Perekonomian secara tahunan pada kuartal I 2020 lalu hanya tumbuh 2,97 persen atau signifikan melambat dibandingkan periode sama 2019 yang sebesar 5,07 persen. Di kuartal IV 2019, ekonomi Indonesia juga telah tumbuh melambat ke 4,97 persen dibandingkan 5,18 persen pada periode sama tahun sebelumnya imbas perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Dampak perlambatan semakin berat ketika pagebluk COVID-19, yang disebabkan virus SARS-CoV-2, menjangkiti Indonesia dan 214 negara lainnya di dunia. Berbeda dengan krisis 1998 yang disebabkan gejolak di pasar keuangan, beban ekonomi pada 2020 jauh lebih berat karena bersumber dari krisis kesehatan masyarakat.

Sejauh ini periode kuartal II 2020 kerap dinilai sebagai fase terberat laju ekonomi Tanah Air. Dampak penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan perekonomian merosot. Hampir semua sektor industri terganggu, utilitas produksi menurun, dan menyebabkan omzet penjualan lesu.

Pola Pemulihan

Semua negara kini tertuju pada jalur cepat perbaikan ekonomi di China. Negara pertama di dunia yang menjadi episentrum COVID-19 itu diperkirakan akan meninggalkan tahun 2020 dengan pemulihan yang ekspansif.

Bank Dunia memperkirakan ekonomi China bisa tumbuh 2 persen pada 2020 ketika ekonomi global diperkirakan terkontraksi hingga minus 5,3 persen. Negara ekonomi kedua terbesar di dunia itu mendaki jalur pemulihan dengan cepat seperti model V, melalui berbagai insentif untuk sektor industri termasuk subsidi kepada konsumen otomotif, yang memiliki efek pengganda ekonomi.

Bagaimana dengan Indonesia? Walaupun realisasi PDB kuartal III belum dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), Menkeu Menteri Keuangan telah memproyeksikan Indonesia memasuki resesi.

Jika siklus ekonomi diibaratkan sebuah roda, fase resesi adalah perputaran setelah puncak (peak) siklus menuju lekukan dasar (trough) roda tersebut.

Hal yang penting menjadi fokus saat ini adalah apakah kita sudah benar-benar mendekati dasar (trough) siklus itu, dan bagaimana cara untuk melewati dasar agar kemudian bisa menanjak kembali ke fase pemulihan (recovery).

Dan jika kita belum mencapai dasar siklus atau roda, apakah kita sudah siap saat ketika berada di dasar (trough) ?

Jika menggunakan proyeksi pemerintah bahwa ekonomi Indonesia di kuartal III 2020 tumbuh di -1 hingga -2,9 persen, maka saat ini semestinya kita sudah melewati dasar, dan bersiap untuk menanjak ke fase pemulihan. Namun jika melihat data-data perekonomian terakhir seperti deflasi yang terjadi beruntun sepanjang Juli-September 2020, ataupun stagnasi Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), tampaknya Indonesia sudah memulai pemulihan, namun belum ekspansif.

Meski demikian, Indonesia masih berpeluang untuk pulih dengan model V (V-shape) dengan garis kanan yang lebih landai, tidak curam. Hal yang perlu diwaspadai adalah jika fase resesi berjalan lama seperti huruf U, atau malah dengan pemulihan yang tidak menentu seperti huruf L karena pandemi terjadi berkepanjangan.

" Menghadapi resesi

Ketika alarm resesi menyala, masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah adalah segmen yang sangat terpukul. Saat resesi terjadi, tekanan ekonomi terus bertambah hingga membuat banyak orang bisa kehilangan pendapatannya.

Seperti tertulis di Buku Laporan Tahunan 2020, Peringatan Setahun Jokowi-Ma’ruf, pemerintah mencatat pekerja yang terkena PHK dan dirumahkan sudah mencapai 3,5 juta orang. Pengangguran tahun ini diperkirakan naik menjadi 10,4 juta orang.

Sementara, data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan perkiraan jumlah orang miskin bisa bertambah menjadi 28 juta orang atau sebesar 10,62 persen dari total masyarakat Indonesia pada 2020 jika tidak ada intervensi signifikan untuk mengendalikan kasus COVID-19.

"Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, resesi ekonomi bisa memberikan dampak yang sangat berat terhadap kelompok masyarakat menengah ke bawah, terutama bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, hingga tidak memiliki pendapatan sama sekali.

"Sementara, kelompok menengah hingga menengah ke atas turut merasakan dampak dari resesi, namun masih memiliki daya beli. Kemampuan beli itu tidak diwujudkan untuk konsumsi, melainkan investasi, atau menabung. Tak ayal, dalam beberapa bulan terakhir, jumlah simpanan atau investasi di industri keuangan terus bertumbuh.

"Maka dari itu, untuk saat ini, masyarakat diimbau untuk bersiap menghadapi resesi, atau dampak lebih buruk dari resesi itu jika terjadi berkepanjangan.

"Piter mengusulkan agar masyarakat lebih banyak mengalokasikan dananya saat ini ke dalam tabungan.Masyarakat juga tidak perlu panik. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah agar masyarakat mengendalikan pengeluaran agar tidak boros dan mampu mengamankan kondisi tabungan.

"Tidak juga terlalu khawatir sehingga takut untuk melakukan konsumsi. Konsumsi sewajarnya dan tetap punya tabungan untuk berjaga-jaga," ujar dia.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan saat ini masyarakat lebih baik membentuk dana darurat dengan besaran yang mampu mengantisipasi jika sewaktu-waktu masyarakat mengalami penurunan atau kehilangan pendapatan secara ekstrem.

Dana darurat juga penting untuk biaya penanganan kesehatan anggota masyarakat, mengingat saat ini Indonesia masih menghadapi pandemi COVID-19.

Bhima juga berharap pemerintah dapat meningkatkan perannya untuk mempercepat pemulihan konsumsi masyarakat. Pemerintah dapat melipat-gandakan jumlah bantuan sosial, terutama yang berbentuk bantuan langsung tunai kepada masyarakat agar dapat mempercepat pemulihan ekonomi.

"Misalnya, untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) hanya Rp600 ribu per orang per bulan. Idealnya Rp1,2 juta per bulan per orang dengan asumsi setiap orang menanggung tiga anggota keluarga," ujar Bhima.

Total, pemerintah telah menganggarkan Rp695,2 triliun di APBN 2020 untuk penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Akibat alokasi belanja itu, pemerintah harus mengambil risiko dengan melebarkan defisit APBN 2020 menjadi 6,3 persen PDB atau setara Rp 1.039,2 triliun.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu mendorong kelompok masyarakat menengah dan menengah atas untuk meningkatkan konsumsinya dengan tidak melupakan urgensi pembentukkan dana darurat sebagai bantalan dana.

Jika merujuk data Bank Indonesia, simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK) di perbankan pada September 2020 bertumbuh makin kencang hingga 12,88 persen (yoy) dari sebelumnya pada Agustus 2020 yang sebesar 11,64 persen (yoy). Apabila melihat data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Agustus 2020, pertumbuhan tertinggi DPK ternyata terjadi pada kelompok simpanan dengan nominal di atas Rp5 miliar yang bertumbuh 15,2 persen (yoy) menjadi Rp3.186 triliun. Kemudian kelompok simpanan Rp500 juta hingga Rp1 miliar, bertumbuh 10,1 persen (yoy).

Artinya banyak lapisan masyarakat terutama kelompok menengah-atas yang mengalokasikan lebih banyak pendapatan mereka ke tabungan dan investasi. Tentu pemerintah perlu membidik permasalahan perlambatan konsumsi ini, salah satunya dengan mendorong kelompok masyarakat menengah dan menengah atas untuk meningkatkan belanja mereka, tanpa melupakan alokasi untuk dana darurat.

Baca juga: Peneliti: Subsidi upah mampu bantu antisipasi resesi ekonomi penerima

Baca juga: Hindari resesi, Pemerintah terus kebut realisasi anggaran dan stimulus PEN


Oleh Indra Arief Pribadi