Objek Wisata Digital yang Diburu Para Milenial

id objek wisata, digital yang, diburu para milenial

Objek Wisata Digital yang Diburu Para Milenial

Jakarta (Antarariau.com) - Besarnya gelombang "gangguan" di era milenial ini tidak bisa dipungkiri terus menekan, bahkan menggeser apapun yang dinilai masih konvensional di segala lini, termasuk pariwisata.

Dan gelombang itu tengah dimainkan oleh kaum milenial, sehingga pengelola objek wisata berlomba-lomba menyedot perhatian mereka. Keindahan alam saja dinilai "belum cukup" dan harus dipoles dengan sesuatu yang dianggap pantas dipamerkan di media sosial.

Itu pula yang menjadi strategi Kementerian Pariwisata agar gaung pariwisata Indonesia sampai ke telinga para wisatawan mancanegara (wisman) untuk mengunjungi Nusantara dalam rangka mewujudkan 20 juta wisman di 2019 dengan perolehan devisa sebesar 20 miliar Dolar AS.

Menjadikan milenial sebagai promotor potensial pariwisata Indonesia bukan tanpa alasan. Dengan senjata utamanya media sosial, maka akan dengan mudah suatu foto atau video tersebar luas di dunia maya yang tak kenal batas negara.

Ini yang menyebakan kaum milenial memiliki kekuatan memengaruhi yang sangat besar.

"Millenial sebagai segmen yang penting karena 'size' dan 'influencing power'-nya sangat besar," kata Menteri Pariwisata Arief Yahya.

Seperti satu peribahasa mengatakan bahwa melihat satu kali lebih baik daripada mendengar seribu kali.

Dengan melihat foto atau video yang diunggah, maka akan membuat para pelancong penasaran dan menggugah mereka untuk datang melihat langsung suatu objek wisata.

Potensi Industri Pariwisata

Manpar Arief menilai pasar milenial akan menjadi pasar terbesar karena diproyeksikan jumlah wisatawan milenial mencapai 34 persen atau sekitar tujuh juta dari target 20 juta wisman yang akan diraih tahun depan.

"Wisatawan milenial merupakan pasar masa depan dan siapa yang akan merebutnya akan menjadi pemenang," ujarnya.

Untuk itu, diperlukan strategi khusus untuk menarik perhatian milenial dengan cara mengenali karakteristiknya terlebih dahulu. Pendiri MarkPlus Inc. Hermawan Kertajaya mengelompokan empat kriteria milenial, yaitu pandai dalam teknologi informasi (digital technology savvy), mampu mengadvokasi (advocators), berorientasi pada pengalaman (experience oriented) dan pencari petualangan (adventure seekers).

Karena itu diperlukan pengembangan strategi khusus untuk memenuhi kebutuhan wisata para milenial, salah satunya adalah dengan menciptakan destinasi digital (digital destination) sebagai pintu masuk wisatawan milenial.

"Digital sebagai sarana pembuka. Ada wisatawan milenial kelompok 'technology savvy' maunya digital saja, tapi banyak pula yang kemudian ingin mencari pengalaman, bertualang atau pun sebagai advokasi. Wisatawan milenial kelompok 'advocators' ini lebih suka mengunjungi destinasi-destinasi yang paling 'Instagramable', kemudian melakukan selfie dan membagikannya lewat Instagram agar diketahui milenial lain," katanya.

Dalam praktiknya empat kelompok wisatawan milenial mempunyai keinginan berbeda satu sama lain, misalnya kelompok digital atau "digital/tech savvy" yang sangat dipentingkan adalah kecanggihan wadah digital (digital platform), antara lain wifi di objek yang dikunjungi harus kencang.

Sedangkan kelompok "experience oriented" haus akan sensasi akan pengalaman yang akan didapat di destinasi wisata.

Kelompok "adventure seekers" umumnya ingin menemukan keaslian atau kearifan lokal yang ada di objek yang dikunjungi tersebut.

Destinasi Digital

Definisi sederhana dari destinasi digital adalah tempat wisata di mana pengunjung ingin mengambil foto atau video sebanyak-banyaknya untuk diunggah di media sosial.

Satu lagi yang menandakan karakteristik wisawatan milenial adalah haus akan pangakuan.

Dengan memamerkannya di media sosial, kaum milenial ingin diakui bahwa mereka sudah pernah mengunjungi tempat itu dan tanda bahwa mereka tidak ketinggalan zaman dan masuk kategori "anak zaman now".

Salah satu objek wisata digital yang bisa meluruhkan dahaga para kaum milienal itu adalah Orchid Forest Cikole di mana di setiap sudutnya terbangun berbagai instalasi yang kekinian yang mana milenial diyakini tidak mau melewatkannya.

Bagaimana tidak, jembatan gantung yang membentang tinggi dan dihiasi cahaya lampu ketika matahari mulai redup membuat ilusi seolah pengunjung yang melewatinya melayang di udara dengan berjuta cahaya.

Belum lagi rumah kaca yang dihiasi berbagai jenis anggrek langka nan cantik serta bagunan toilet yang dibuat menyerupai rumah Hobbit.

Lead Marketing Orchid Forest Cikole Nexa Paisan, menyebutkan objek wisata yang berada di Bandung Barat itu telah dikunjungi 50.000 wisatawan, padahal belum genap setahun beroperasi dan bahkan belum secara resmi diluncurkan.

"Ini baru 'open trial' belum 'soft opening', sekarang sedikitnya ada 10.000 orang yang datang setiap harinya, bahkan waktu H+1 Lebaran mencapai 10.000 pengunjung per hari," katanya.

Nexa menjelaskan objek itu memang mengusung konsep destinasi digital di mana targetnya para milenial.

"Kami di sini andalannya memang spot selfie, di mana-mana kami kasih sesuatu yang unik, seperti gerbang-gerbang segitiga ini, bahkan banyak yang berpose di toilet dengan bangunan unik dan cuma kami yang punya," katanya.

Masih di Bandung Barat, ada pula objek wisata yang ikonik dengan mengusung "glamour camping" disingkat glamping yang sangat cocok bagi milenial perkotaan yang mana ingin berkemah tapi tidak mau repot dan masih bisa merasakan seperti tidur di hotel, yaitu Glamping Rancabali. Selain mengusung destinasi digital, Glamping Rancabali juga menawarkan wisata nomadik atau "nomadic tourism" yang akan menjadi tren karena menjawab keterbatasan tersedianya amenitas sebagai unsur penting dari 3A (atraksi, amenitas, dan aksesibilitas) di daerah tujuan wisata yang mengandalkan unsur budaya, alam, dan buatan manusia.

Manager Glamping Rancabali Luthfi mengatakan kunjungan rata-rata per minggunya mencapai 50.000-100.000 orang, baik itu menginap ataupun hanya sekadar berkunjung menaiki perahu pinisi di pinggir danau yang seolah menghadirkan suasana laut di pegunungan sebagai andalannya.

"Paling banyak kunjungan itu dari Jakarta," ujar Luthfi.

Ke depannya, Luthfi akan mengembangkan juga "camping ground" untuk merambah pasar menengah ke bawah.