Sambungan dari hal 1 ...
Komoditas "Anak Tiri"
Pemerintah memang sempat serius mengembangkan kelapa pada era 1970-an sampai 1980-an. Saat itu pemerintah gencar mempromosikan kelapa hibrida yang memiliki produktivitas tinggi. Namun, sejak kelapa sawit hadir menjadi tren perkebunan baru pada era 1980-an, perlahan tapi pasti kelapa mulai dilupakan.
Sejak itu pula, perkebunan-perkebunan kelapa dibiarkan tanpa ada pengembangan jelas dan peremajaan bibit. Pemerintah lebih serius menggarap kelapa sawit karena sebagian besar pelakunya adalah perusahaan-perusahaan swasta, sementara untuk kelapa pelakunya hanya petani kecil dengan dana minim.
Indonesia sejatinya memiliki luas perkebunan kelapa terbesar di dunia yang mencapai 3,79 juta hektare, 99 persen dari total lahan perkebunan di kelola oleh petani rakyat dan sekitar 1 persen sisanya di kelola oleh perkebunan pemerintah dan swasta.
Perkebunan kelapa ini tersebar di Pulau Sumatera (31.81 persen), Jawa (22.74 persen), Sulawesi (20.81 persen), Bali dan Nusa Tenggara (7.87 persen), serta Maluku dan Papua (10 persen).
Provinsi Riau mendominasi luas perkebunan kelapa di Indonesia yang mencapai 13.77 persen diikuti oleh Jawa Timur (7.87 persen), Sulawesi Utara (7.40 persen), Jawa Tengah (6.24), Maluku Utara (5.85 persen), Sulawesi Tengah (5.71 persen), dan Jawa Barat (4.81 persen), serta sisanya berada di wilayah lain.
Yang menjadi persoalan adalah hampir setengah dari tanaman-tanaman kelapa rakyat itu sudah tidak produktif lagi karena telah berusia tua, di atas 25 tahun, sehingga membutuhkan peremajaan. Usia produktif tanaman kelapa ini adalah 0--25 tahun. Peremajaan kelapa itu tentunya tidak bisa dilakukan petani seorang diri karena faktor keterbatasan dana mereka dan perlu ada intervensi pemerintah dalam hal ini.
Ironisnya dalam anggaran Kementerian Pertanian tahun 2015 yang diajukan ke DPR RI, terdapat pergeseran anggaran antarprogram untuk peremajaan kelapa ini.
Pada pagu awal program peremajaan kelapa terdapat volume sebesar 100 hektare dengan alokasi anggaran sebesar Rp338.500.000,00. Namun, kemudian terjadi pergeseran anggaran sehingga dalam pagu akhir volume peremajaan kelapa hanya tersisa 13 hektare dengan alokasi anggaran Rp44.190.000,00.
Sementara itu, untuk program pencetakan sawah baru yang pada pagu awal anggaran 2015 tidak ada. Namun, kemudian terjadi pergeseran anggaran hingga senilai Rp 330 miliar untuk volume 220 hektare sawah baru pada pagu akhir pergeseran anggaran antarprogram Kementerian Pertanian 2015.
Dengan demikian, dari politik anggaran pemerintah ini jelas terlihat adanya "penganaktirian" komoditas kelapa dibandingkan dengan komoditas pangan, seperti padi, jagung, dan kedelai. Padahal, seharusnya ada perhatian yang proporsional untuk pengembangan komoditas-komoditas lain yang juga bernilai strategis bagi masyarakat.
Pemerintah seharusnya juga memikirkan bahwa komoditas kelapa ini merupakan bahan baku untuk menghasilkan berbagai macam produk penting, seperti minyak kelapa, tepung kelapa, karbon aktif, dan gula kelapa.
Produk-produk yang dapat dihasilkan pabrik-pabrik pengolahan kelapa dan banyak diminati dengan nilai ekonomi tinggi itu di antaranya arang aktif, serat sabut, tepung kelapa, krim, serta oleokimia yang dapat menghasilkan asam lemak, metil ester, fatty alcohol, fatty amine, fatty nitrogen, glycerol, dan lain-lainnya.
Demikian pula, batang pohon kelapa merupakan bahan baku industri rumah tangga untuk menghasilkan perlengkapan rumah tangga (furniture) yang memiliki prospek untuk dikembangkan.
Bahkan, dengan menggunakan teknologi pengolahan yang sederhana saja, semua turunan kelapa ini jika dimanfaatkan dengan baik, akan mendapatkan hasil akhir produk tanpa limbah atau "zero waste". Misalnya, air kelapa yang selama ini hanya dijadikan limbah di pabrik pengolahan kelapa, ternyata bisa dibuat menjadi asam cuka yang sangat diminati pasar domestik maupun internasional. Asam cuka dari air kelapa ini juga berpotensi diekspor sebab banyak industri di luar negeri memerlukannya sebagai bahan untuk fermentasi pembuatan salad dressing, ketchup, hot sauce, dan beragam produk makanan lainnya.
Diperkirakan kebutuhan akan komoditas kelapa ini akan terus meningkat mengingat pola hidup masyarakat pada masa-masa mendatang tidak dapat dilepaskan dari kelapa dan hasil olahannya.
Sementara itu, pada saat yang sama, banyak pabrik pengolahan kelapa yang saat ini beroperasi jauh di bawah kapasitas produksinya. Bahkan, ada diantara pabrik-pabrik itu yang terancam gulung tikar karena pasokan bahan baku tidak lagi kontinu dan harga yang juga cenderung berfluktuatif.
Ambil contoh PT Inhil Sarimas Kelapa di Sungai Gantang, Riau, yang memproduksi minyak kelapa, santan kelapa, air kelapa dalam kemasan, tepung kelapa, karbon aktif tempurung kelapa, serat sabut kelapa, dan pelet bungkil kelapa. Perusahaan yang mempekerjakan 3.000 orang itu memiliki mesin terpasang yang membutuhkan kelapa sebanyak 2.000.000 butir per hari. Namun, rata-rata pasokan kelapa baru mencapai 800.000--1.000.000 butir kelapa per hari.
Kendati industri pengolahan kelapa dalam negeri sudah berkembang pesat hingga mereka kewalahan mencari pasokan kelapa untuk bahan bakunya, produktivitas perkebunan kelapa di Indonesia masih belum sesuai dengan harapan dan tertinggal jauh dari negara-negara produsen kelapa dunia lainnya, seperti India dan Thailand.
Rendahnya produksi kelapa Indonesia ini, sekali lagi, lebih disebabkan karena terlambatnya upaya peremajaan setelah sebagian besar tanaman memasuki fase tidak produktif lagi, teknik budi daya petani yang masih rendah, serta adanya serangan hama dan penyakit, di samping bibit yang digunakan petani juga bukan benih kelapa unggul.
Kondisi itu masih diperparah lagi dengan kian maraknya ancaman konversi komoditas dari semula perkebunan kelapa menjadi kelapa sawit serta tekanan alih fungsi lahan untuk permukiman seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Karakteristik perkebunan kelapa yang 99 persen adalah petani rakyat dengan ciri dikelola seadanya itu jelas membutuhkan uluran tangan pemerintah. Jika pemerintah benar-benar serius menggarap salah satu komoditas strategis ini, semua persoalan yang ada di hulu dan hilir harus segera diselesaikan. Sudah saatnya kelapa ini dipandang sebagai komoditas yang strategis dan tidak lagi dianaktirikan.