Paparan polusi udara selama kehamilan bisa tingkatkan risiko depresi

id Berita hari ini, berita antara riau, berita riau terbaru,polusi

Paparan polusi udara selama kehamilan bisa tingkatkan risiko depresi

Ilustrasi depresi pada ibu pasca melahirkan (ANTARA/Shutterstock)

Jakarta (ANTARA) - Paparan terhadap polusi udara selama kehamilan dikaitkan dengan kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, dan komplikasi seperti gangguan hipertensi.

Dikutip dari Medical Daily, Sabtu, studi terbaru menunjukkan bahwa dampaknya juga mencakup kesehatan mental, dengan paparan polusi hampir melipatgandakan risiko depresi pasca persalinan.

Risiko yang meningkat ini dapat bertahan hingga tiga tahun, seperti diungkapkan dalam studi terbaru.

Tingkat tinggi nitrogen dioksida (NO2) dan partikel matter yang dapat terhirup (PM10), terutama dalam jangka waktu lama, diketahui dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan seperti asma, serangan jantung, dan stroke.

Studi yang diterbitkan dalam Science of the Total Environment mengungkapkan bahwa polutan ini juga terkait dengan peningkatan risiko depresi pasca persalinan.

"Yang benar-benar baru dari penelitian ini adalah bahwa kami mampu memperluas pemeriksaan depresi hingga lebih dari satu tahun setelah persalinan, dan menunjukkan efek berkelanjutan dari polusi udara selama kehamilan terhadap gejala depresi hingga tiga tahun pasca persalinan," kata Tracy Bastain, penulis utama studi tersebut dalam siaran pers.

Para peneliti mengikuti 361 ibu hamil dari awal kehamilan hingga tiga tahun pasca persalinan.

Gejala depresi para peserta dikumpulkan satu, dua, dan tiga tahun setelah mereka melahirkan. Data itu dibandingkan dengan pengukuran polusi udara mingguan di sekitar rumah mereka selama kehamilan.

Analisis menunjukkan bahwa wanita yang terpapar tingkat NO2 yang lebih tinggi antara minggu ke-13 dan ke-29 kehamilan memiliki risiko depresi pasca persalinan 3,86 kali lebih tinggi hingga tiga tahun.

Mereka yang terpapar tingkat PM10 yang lebih tinggi antara minggu ke-12 dan ke-28 juga memiliki risiko serupa yang lebih tinggi (3,88 kali).

Setelah satu tahun, 17,8 persen wanita mengalami gejala depresi, 17,5 persen setelah dua tahun, dan 13,4 persen setelah tiga tahun.

"Studi kami sebenarnya menemukan persentase depresi yang secara klinis signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan data CDC terbaru. Ini sangat penting, kemungkinan ada lebih banyak kasus depresi pasca persalinan daripada yang ditunjukkan oleh data prevalensi nasional kami," kata Bastain.

"Implikasi penting lainnya dari penelitian kami adalah bahwa depresi dapat bertahan lama setelah 12 bulan pertama pasca persalinan, dan para ibu harus berbicara dengan penyedia layanan kesehatan mereka jika mereka terus mengalami gejala depresi," tambah Bastain.

Baca juga: BRIN ingatkan kondisi kesepian berperan terhadap tingkat depresi lansia

Baca juga: Pengalaman masa kecil yang positif dan bahagia bisa kurangi risiko depresi remaja