Medan (ANTARA) - Halaman Gelanggang Olahraga (GOR) di Jalan Arief Rahman Hakim, Kota Medan, ramai sekali. Banyak orang berkerumun, sejumlah atap tenda bazar berwarna putih menyembul di antara orang-orang. Mobil-mobil, bahkan beberapa bus, terpakir di sebagian badan jalan.
Ketika memasuki pintu gedung yang bertuliskan "Gedung Olahraga, Yayasan Sosial Angsapura", orang-orang dengan seragam olahraga berbeda warna sudah ramai berbaris di area tengah lapangan, dengan latar belakang belasan arena permainan tenis meja.
Mereka adalah para atlet yang berbaris rapi di belakang papan nama provinsi Indonesia. Jumlahnya ada 22.
Lalu bergulirlah acara formal dimulai dengan Indonesia Raya dan kata-kata sambutan. Tak perlu dijelaskan apa yang dikatakan, kecuali satu kalimat yang bisa menyulut tepuk tangan para atlet tanpa dikomando.
"Kita bersyukur sekali tenis meja dapat terlaksana di PON tahun ini.”
Jika saja api semangat itu dapat terlihat kasat mata, barangkali percikan-percikan api yang muncul dari tubuh para atlet itu bisa menyulut kebakaran.
Hiperbola? Iya. Tapi harap maklum. Karena atlet-atlet tenis meja ini sudah menunggu delapan tahun agar bisa bertanding di pesta olahraga tingkat nasional, lantaran tenis meja tidak dipertandingkan pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua tahun 2021.
Terakhir kali Desi Ramadanti merasakan persaingan level nasional adalah saat usianya 16 tahun, delapan tahun lalu, saat berseragam tim DKI Jakarta pada PON XIX Jawa Barat 2016.
Pertandingan pertama pada PON kedua Desi cukup membuatnya gugup ketika melawan Fitria Anjani Tululi dari Gorontalo. Meskipun Desi menang dengan tiga set langsung, namun dia cukup tegang karena poinnya yang terus dibuntuti oleh Fitria, yaitu 11-9, 11-4, dan 11-8.
"Perasaannya? Tentu senang. Karena sudah lama kita menantikan PON ini,” senyum lebar menempel di wajahnya bersama dengan bulir-bulir keringat sisa pertandingan.
Atlet tenis meja Provinsi DKI Jakarta Desi Ramadanti. (ANTARA/Aditya Ramadhan)
Meski tampak terlihat lelah, tetapi sinar mata Desi seperti menginginkan pertandingan yang lain lagi, menghendaki kemenangan lainnya.
Karena baginya, untuk saat-saat seperti inilah perjuangannya selama satu tahun berlatih dibuktikan. Perjuangan pelatihan 12 bulan, dengan delapan bulan terakhir tingkat latihan yang semakin keras.
Bahkan, dalam latihan selama satu tahun itu, Desi dan rekan-rekannya tak mendapat informasi jelas apakah tenis meja akan dipertandingkan pada PON XXI Aceh-Sumatera Utara.
Pikiran yang mengganggu proses latihan, tentang perjuangan yang sia-sia tanpa pertandingan. Suatu hal yang pernah dialaminya saat tenis meja tak ikut serta dalam kompetisi PON XX Papua 2021.
“Tentunya kita juga bingung ya latihan sebenarnya untuk apa kalau nggak ada pertandingan. Karena tujuan kita pasti untuk PON, untuk internasional,” sinar mata Desi yang tadinya begitu berkobar tiba-tiba meredup bersama dengan nada bicaranya yang rendah.
Desi, yang paham betul bagaimana rasanya naik podium tertinggi dan dikalungi medali emas sampai dua kali di PON XIX Jabar delapan tahun silam, ingin merasakan lagi pengalaman itu di kota yang berbeda. Desi meraih emas pada nomor beregu putri dan ganda putri tenis meja pada PON Jawa Barat 2016.
"Insya Allah ingin ngerebut kembali emas dan juara umum,” sinar mata Desi menyala lagi.
Petenis meja DKI Jakarta Rina (kiri) mengembalikan bola saat bertanding melawan petenis meja Gorontalo Anna (kanan), pada penyisihan beregu putri tenis meja PON XXI Aceh - Sumut di GOR Angsapura Medan, Sumatera Utara, Selasa (10/9/2024). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/nzb
Bangkit
Dulu, tenis meja adalah cabang olahraga yang pernah berjaya dan mengharumkan nama Indonesia. Level tenis meja Indonesia di era 70-an hingga 90-an sudah pada taraf dunia dengan atlet-atletnya yang mencapai peringkat 10 besar, dan belasan. Raja di Asia Tenggara, diperhitungkan di Asia, dan langganan kompetisi di Olimpiade.
Indonesia pernah punya Sugeng Utomo di era 1970-an yang sempat terdaftar dalam peringkat delapan dunia untuk ganda putra, dan 16 besar di nomor tunggal. Pada masa 1980-an ada Anton Suseno yang punya tujuh emas SEA Games dan tiga kali berkompetisi di ajang Olimpiade.
Di era 1990-an, tenis meja Indonesia juga tak meredup dengan salah satu legendanya Rossy Pratiwi Dipoyanti. Bahkan tim tenis meja Indonesia pernah menyapu bersih tujuh medali emas SEA Games 1993 di Singapura.
Namun kini, prestasi tenis meja Indonesia tenggelam.
Tenis meja tidak turut serta dalam ajang PON XX Papua tahun 2021, yang akhirnya kembali lagi pada PON XXI Aceh-Sumut 2024. Tenis meja Indonesia juga tidak berpartisipasi di dua edisi SEA Games Filipina dan Vietnam pada 2019 dan 2021, yang akhirnya kembali lagi berkompetisi di SEA Games Kamboja 2023. Para atlet tenis meja SEA Games 2023, yang sebagian besar berkompetisi PON Aceh-Sumut, tidak ada yang pulang tanpa medali.
Para atlet tenis meja Indonesia yang dulunya mendunia, kini bersaing di level Asia Tenggara pun sulit. Bahkan bisa berkompetisi di level nasional seperti PON saja sudah merasa sangat bersyukur.
Atlet-atlet dan prestasi tenis meja Indonesia jadi korban dari kisruhnya kepengurusan organisasi cabang olahraga yang berlangsung lebih dari satu dekade.
Tersebutlah Pengurus Pusat Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PP PTMSI) dan Pengurus Besar Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PB PTMSI) yang saling klaim sebagai organisasi yang sah, pun silih serang tentang tuduhan organisasi yang ilegal.
Dampaknya, atlet dan prestasi tenis meja Indonesia jadi korban. Tak ada program, tak ada kompetisi, para atlet harus berjuang sendiri.
Level Indonesia yang tadinya raja di Asia Tenggara, kini terbalik, berada di papan bawah.
"Kita jadi ketinggalan. Tahun 90-an, kita merajai tennis meja. Di Asian Games selalu juara umum. Tapi kita lihat kemarin di Kamboja kita hancur-hancuran," kata Wahyudin Noor, Manajer Tim Tenis Meja DKI Jakarta, yang menargetkan timnya juara umum cabang tenis meja di PON XXI.
Dia menyebut peringkat tenis meja Indonesia di dunia merosot drastis. Bahkan, negara Vietnam dan Malaysia yang dulu dengan mudah dikalahkan oleh Indonesia, kini memiliki peringkat di atas Indonesia.
Kini, dengan hadirnya tenis meja di PON XXI Aceh-Sumatera Utara, adalah oase bagi para atlet tenis meja Indonesia yang dahaga akan kompetisi.
PON XXI bisa menjadi dasar paling bawah yang dijadikan pantulan untuk tenis meja Indonesia kembali melompat, mengejar ketertinggalan.
Legenda tenis meja Indonesia, Anton Suseno, yang saat ini menjadi pelatih tim tenis meja Jawa Barat, berpandangan bahwa saat ini bakat-bakat tenis meja sudah mulai merata ke berbagai daerah Indonesia, tak melulu Pulau Jawa.
Menurutnya, potensi ini harus dapat dikembangkan dengan baik, melalui program pelatihan jangka panjang, dan juga dengan banyaknya kompetisi.
Anton menyebutkan dua faktor kunci keberhasilan seorang atlet adalah seberapa baik latihan yang mereka lakukan dan seberapa sering mereka bertanding.
"Kalau latihannya tidak jelas di mana, dan bertandingnya juga tidak tahu kapan, bagaimana prestasi bisa diraih?"
Anton percaya bahwa tenis meja Indonesia bisa kembali berjaya seperti dulu kala.
Itu pula yang diharapkan oleh para atlet tenis meja. Tak muluk-muluk, kompetisi yang konsisten sudah lebih dari cukup untuk saat ini.
"Harapannya semoga tenis meja Indonesia tetap seperti sekarang, berkembang terus, dan atlet-atletnya agar berprestasi juga. Pengurusnya bisa ngadain pertandingan yang banyak, serta liga-liga di Indonesia kedepannya,” tutup Desi dengan harapan-harapannya.
Baca juga: Riau melaju ke semifinal sepak takraw
Baca juga: Riau targetkan peroleh 25 emas di PON XXI Aceh-Sumut
Editor: Alviansyah Pasaribu