Pekanbaru (ANTARA) - Selama lebih kurang sebulan terakhir harga minyak goreng melambung tajam hingga menyayat hati kaum emak-emak. Harganya yang biasa cuma Rp12 ribu per liter, kini naik menjadi berkisar Rp18 ribu hingga Rp20 ribu.
Mengetahui itu, emak-emak tercekik, hatinya panas dan dompetnya gosong layaknya tersiram minyak goreng panas yang baru turun dari kompor menyala.
Selama ini, masyarakat berusaha hidup tenteram bersama COVID-19, tapi virus kenaikan harga itu tiba-tiba mencuat dan membuat luka dan sakit hati. Vaksinnya masih dicari!
Ironisnya, Indonesia (Riau ada di dalamnya) merupakan penghasil sawit terbesar di dunia seharusnya menjadi surga minyak goreng yang melimpah dengan harga yang ramah. Harga sawit dunia meroket, harga minyak goreng juga melonjak. Siapa yang menikmatinya? Siapa yang menjadi korban dari kondisi ini?
Banyak petani sawit di Riau membeli Pajero atau Fortuner baru secara cash tanpa dicicil sebagai dampak (katanya positif) kenaikan harga sawit yang terjadi dalam setahun terakhir. Di satu sisi, banyak ibu-ibu yang merintih ketika menghadapi kenyataan tingginya harga minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit ini.
Lantas, masyarakat yang bukan petani sawit atau istri petani sawit harus bagaimana? Atau cuma pasrah merintih menanggapi kenaikan harga hingga terbakar hatinya.
Perlu diketahui, para petani sawit itu menjual hasil panennya ke pabrik-pabrik untuk diolah ke berbagai produk, salah satunya minyak goreng. Nah, para pemilik pabrik ini yang seharusnya bisa mengendalikan jumlah produk dan harganya, atau sudah ada pemain di luar itu? Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok, semahal apapun pasti akan dibeli.
Melihat masyarakat yang sudah mulai tertindas dengan kenaikan harga minyak goreng, pemerintah agaknya mulai berupaya turun tangan dengan mengadakan operasi pasar. Namun ada hal yang janggal, operasi pasar mulai beralih ke minimarket atau ritel modern yang dimiliki oleh kaum tertentu. Kaum tertentu itu juga diduga yang memiliki atau berkongsi dengan pemilik pabrik sawit. Lalu? Diisi sendiri dugaannya.
Harga minyak goreng melambung diproduksi oleh pabrik-pabrik besar, kemudian harganya pura-pura diturunkan dan dijual di retail-retail koleganya sendiri. Pembelinya? Pembelinya ya, kita-kita, emak-emak, penghuni negara yang katanya tak berdaya.
Para pembeli terpaksa rela dipermaikan oleh harga minyak goreng yang makin panas. Kelapa sawit tumbuh subur di Bumi Pertiwi ini, kemudian diolah oleh kaum tertentu, dan dijual di toko tertentu untuk selanjutnya dibeli oleh kaum tak tertentu. Hanya minyak goreng lah yang mampu membolak-balikkan hati kita. Selamat memasak...
Berita Lainnya
Ribuan stok disimpan, agen minyak goreng di Meranti masih tunggu subsidi dari distributor
16 February 2022 21:01 WIB
Ujung Sumatera - Sekolah Islam Terpadu, apakah sudah islami?
06 January 2022 12:29 WIB
Ujung Sumatera - Upil dan IPAL di Kota Bertuah
02 January 2022 22:15 WIB
Ujung Sumatera - Vaksinasi Riau, capaian bersama
22 December 2021 9:54 WIB
Ujung Sumatera - Selamat datang di Bumi Asap Kuning!
13 September 2019 11:52 WIB
BPS catat harga gabah dan beras pada November mengalami penurunan
02 December 2024 16:27 WIB
BRK Syariah sabet penghargaan sebagai pionir digitalisasi pemerintah daerah
02 December 2024 16:15 WIB
Airlangga sebut inflasi dan pertumbuhan ekonomi landasan UMP 6,5 persen
02 December 2024 14:14 WIB