Energi harapan Nur dan kesempatan sama hidup di ujung Nusantara

id Pulau Burung

Energi harapan Nur dan kesempatan sama hidup di ujung Nusantara

Ilustrasi petugas tengah memeriksa jaringan listrik pelanggan (ANTARA/HO)

“Harga beras bisa dua kali lipat dibanding di kota. Barang dapur sering habis. Barang rumah tangga kadang baru sampai sebulan sekali. Kalau tidak diakali, hidup di pulau ini sulit,” kata Nur

Pekanbaru (ANTARA) - Perjalanan menuju Pulau Burung selalu dimulai dengan rasa ragu, sebuah keraguan yang lahir dari jarak, dari sunyi, dari kenyataan bahwa pulau itu seolah berada di ujung peta Riau yang disisihkan angin. Dari Pekanbaru, kota yang bising oleh deru kendaraan dan lampu yang tak pernah padam, langkah pertama justru adalah meninggalkan segala yang terasa mudah.

Jalan darat membentang panjang menuju arah pesisir, melewati kebun sawit yang seperti tak habis-habis, seakan menggulung waktu dalam barisan batang-batangnya. Setiap tikungan menghadirkan debu, jalan berlubang, dan suara mesin yang memaksa diri untuk tetap hidup. Belum sampai separuh perjalanan, tubuh sering terasa digoyang seperti diayun ombak yang belum terlihat.

Setibanya di ujung daratan Indragiri Hilir, di dermaga yang lebih mirip garis batas antara yang dikenal dan yang tak terbayangkan, perjalanan baru benar-benar dimulai. Di sini, laut bukan biru lembut seperti di brosur iklan pariwisata, ia adalah datar dan kelabu, membawa angin yang seperti menyimpan pesan tua. Gelombang kecil memukul tiang-tiang kayu dermaga, seolah mengingatkan bahwa Pulau Burung tidak menerima tamu tanpa ujian.

Speedboat kecil yang menjadi satu-satunya jalan menuju pulau, bergerak dengan suara mesin serak. Penumpang memeluk barang, angin menusuk kulit, dan laut di bawah seperti kaca retak yang bisa pecah kapan saja. Setengah jam terasa sejam, sejam terasa setengah hari. Di tengah perjalanan, pemandangan hanya air, langit, dan garis tipis pepohonan bakau yang tampak jauh, setengah nyata, setengah ilusi.

Pulau Burung muncul pelan-pelan, seperti rahasia yang dibuka sedikit demi sedikit. Bukan dengan megah, sambutan gapura selamat datang, melainkan sederhana, desa-desa di atas tanah rendah, rumah-rumah kayu yang berdiri melawan pasang, dan udara yang penuh aroma asin serta lumpur.

Begitu kaki menjejak tanahnya, barulah seseorang benar-benar memahami: tempat ini bukan sekadar jauh, tetapi terpisah oleh kesabaran. Pulau Burung bukan dipagari lautan, melainkan waktu. Setiap orang yang datang harus membayar dengan perjalanan yang panjang, dengan tubuh yang lelah, dan hati yang rela meninggalkan kenyamanan.

Namun justru di balik kesulitan itulah Pulau Burung menyimpan keindahannya sendiri, keindahan yang tidak dipotret sembarang orang, tidak dikunjungi siapa saja, dan tidak dimengerti mereka yang hanya melihat peta tanpa merasakan perjalanan.

Dalam lembaran peta Provinsi Riau, Pulau Burung tampak seperti noktah kecil yang nyaris luput dari perhatian sapuan mata. Tidak ada mobil yang menderu di jalan-jalan sempitnya. Bukan karena penduduknya tidak ingin, tetapi karena akses menuju pulau begitu sulit sehingga membawa mobil ke sana hampir mustahil. Satu-satunya gemuruh mesin yang paling sering terdengar bukanlah suara kendaraan roda empat, melainkan suara perahu pompong dan baling-baling kapal kecil.

Seperti dunia yang berbeda ketika beranjak dari sebuah kota terdekat, kesunyian yang terlalu pekat, namun ramah bagi para penyintas kebisingan dan lelah hiruk pikuk lalu lintas.

Dalam kesunyian itu, ada binar terang datang dari lampu-lampu rumah, dari kios kecil dekat dermaga, dari sekolah yang berdiri sederhana. Cahaya yang bertahan berkat PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) milik PLN yang terus bekerja sepanjang hari. Di tempat terpencil seperti ini, listrik bukan sekadar fasilitas. Ia adalah penanda peradaban, pengikat harapan, bahkan menjadi “penjaga hidup” bagi usaha kecil yang kini mulai bermunculan seperti lumut di musim penghujan.

Dan salah satu yang menggantungkan harapannya pada cahaya itu adalah seorang lelaki bernama Nur.

Nur, 35 tahun, adalah sosok yang diyakini sebagian warga sebagai orang yang membawa “jalan keluar” bagi mahalnya harga hidup di Pulau Burung. Ia bukan pejabat, bukan pemilik kapal besar, hanya seorang warga biasa yang memutuskan untuk melakukan sesuatu ketika semuanya terasa terlalu berat.

“Harga beras bisa dua kali lipat dibanding di kota. Barang dapur sering habis. Barang rumah tangga kadang baru sampai sebulan sekali. Kalau tidak diakali, hidup di pulau ini sulit,” kata Nur ketika ditemui di gudang kecil miliknya, beberapa langkah dari dermaga sumber roda peraduan berada.

Dari keresahan itulah ia membangun usaha jasa kirim barang (cargo) dari dan menuju Pulau Burung. Ia masih memulai dari skala kecil, membantu warga menitipkan barang dari Pekanbaru sebagai pusat peradaban provinsi, membawa kebutuhan dasar seperti minyak goreng, gula, mie instan, detergen, hingga peralatan rumah tangga seperti kasur. Kapalnya memang tidak sampai Pekanbaru, cargo hanya “mentok” di kota itu karena keterbatasan jalur logistic serta skala usaha yang baru mulai beberapa tahun silam. Dari Pekanbaru, barang harus dipindahkan, diatur ulang, lalu dibawa melalui jalur air menuju Pulau Burung.

“Tidak mudah, tapi setidaknya warga tidak harus membayar harga setinggi langit,” katanya.

Benar saja, kehadiran jasa cargo milik Nur mampu menekan angka kemahalan di pulau itu. Barang-barang kebutuhan dapur dan rumah tangga tidak lagi setimpang dulu. Nur menjadi semacam penghubung antara pulau terpencil dan daratan besar, menjadi jembatan kecil yang membuat hidup terasa lebih dekat dengan normal.

Namun siapa sangka, usaha ini juga punya tantangan yang tak kalah besar, listrik.

Di pulau terpencil, satu jam listrik padam bukan sekadar ketidaknyamanan. Bagi Nur, listrik padam berarti data pengiriman terputus, mesin pemindai gagal berfungsi, perangkat penjadwalan macet, dan komunikasi dengan rekan-rekan cargo di daratan tersendat. “Kalau listrik mati, semua berhenti. Benar-benar berhenti. Tidak ada sinyal kuat tanpa penunjang listrik. Tidak ada data yang bisa diolah,” keluh Nur dalam sepelemparan pandang ia sempat menoleh ke rekannya yang sedang menata barang.

Karena itu, Nur menaruh harapan besar pada keandalan PLTD Pulau Burung yang dalam beberapa tahun terakhir terus ditingkatkan oleh PLN. Seiring perkembangan layanan publik, PLN berkomitmen menjaga distribusi listrik tetap menyala selama 24 jam penuh, meski tantangannya tidak kecil, semua melihat hal itu.

Kebutuhan listrik di pulau tidak hanya digunakan untuk rumah-rumah warga, tetapi juga sekolah, kantor desa, puskesmas pembantu, usaha kecil seperti toko dan gudang pendingin ikan, serta kini usaha jasa cargo yang butuh keandalan nyaris tanpa henti.

“Kalau kapal datang malam hari dan barang harus dimuat cepat, listrik harus tetap menyala. Kalau data pengiriman harus dicocokkan atau handphone harus dicharge, listrik tak boleh padam, belun penerangan yang menjadi kebutuhan Utama saat malam,” ujar Nur.

Tetapi PLTD di pulau terpencil memang unik, ia membutuhkan solar yang tidak sedikit, mesin diesel yang harus dirawat berkala, dan teknisi yang harus siap kapan pun ada gangguan.

Untuk memahami bagaimana PLN bekerja di tempat terpencil seperti Pulau Burung, perlu melihat satu langkah ke belakang, kepada kebijakan lebih besar yang kini sedang digarap.

Pada suatu diskusi publik di Pekanbaru, Ombudsman RI mengingatkan bahwa pelayanan kelistrikan harus benar-benar menyentuh seluruh wilayah, tidak hanya wilayah yang dekat kota. Hery Susanto, Anggota Ombudsman RI, menegaskan bahwa masih banyak desa di Riau yang berada di kawasan hutan dan membutuhkan perhatian.

“Tantangan terbesar berada di wilayah 3T—terdepan, terpencil, tertinggal. Banyak desa di Riau listriknya hanya sampai kantor desa, belum masuk rumah warga. Rasio elektrifikasi nasional memang ditargetkan 100 persen, tetapi jangan sampai berhenti di data,” katanya.

Pulau Burung adalah salah satu contoh nyata wilayah yang masuk dalam kategori 3T tersebut. Transportasi yang terbatas membuat pasokan bahan bakar PLTD harus benar-benar dihitung. Gangguan kecil bisa berdampak pada padam yang cukup lama. Karena itu, Ombudsman meminta PLN mempercepat langkah, termasuk mengembangkan energi terbarukan untuk wilayah yang sulit dijangkau.

Dalam pembahasan yang masih sama, Executive Vice President Penjualan dan Pelayanan Pelanggan Retail PLN, Joni, menyampaikan bahwa PLN terus meningkatkan kualitas layanan dengan prinsip kepastian, kecepatan, transparansi, dan akuntabilitas. Salah satunya melalui digitalisasi layanan seperti PLN Mobile.

“Kami terus bertransformasi. Digitalisasi mempermudah pengaduan, penyambungan baru. Bahkan untuk daerah terpencil, kami lakukan monitoring jarak jauh terhadap performa pembangkit,” ujar Joni.

Sementara itu, Kepala Ombudsman Perwakilan Riau, Bambang Pratama, menekankan bahwa sinergi antara Ombudsman dan PLN tetap dijaga untuk mengawasi pelayanan publik, terutama di daerah yang paling membutuhkan perhatian.

“Kepercayaan publik harus dijaga. Penyelesaian masalah harus baik dan santun.”

Saat ini [ada perkembangan terakhir,PLN Bersama dengan Pemkab Indragiri Hilir tengah mengembangkan kemampuan pasokan listrik selama 24 jam di Pulau Burung, uji coba sudah dilakukan. Tidak terbayang perekonomian yang semakin laju, tidak hanya Nur, bisa saja banyak hal baik akan dating dengan seiring lancarnya energi menuju ke pulau tersebut.

Di Pulau Burung, semua pernyataan ini bukan sekadar jargon, ia hadir dalam bentuk lampu yang menyala, mesin yang berdengung, dan usaha warga yang tumbuh.

Setiap malam, dari dermaga kecil Pulau Burung, terlihat rumah-rumah yang memancarkan cahaya kuning hangat. Anak-anak belajar dengan tenang, ibu-ibu memasak, dan di ujung jalan kecil, gudang cargo milik Nur tetap hidup, laptop menyala, ponsel terhubung, data masuk keluar membuat deretan kesempatan ikut terolah didalamnya.

Cahaya-cahaya itu menjadi bukti bahwa di pulau terpencil, listrik bukan hanya peradaban—ia adalah kesempatan. Kesempatan bagi anak muda mengakses internet tanpa harus menyeberang pulau. Kesempatan bagi pelaku usaha menyambung hidup. Kesempatan bagi pulau kecil untuk tidak tertinggal terlalu jauh.

Dan bagi Nur, listrik adalah penunjang hidup, bukan sekadar lalu. “Kalau lampu mati, pulau ini seperti kehilangan napas,” ujarnya pelan. “Makanya kami sangat menjaga, karena listrik membuat cargo bergerak, dan cargo membuat hidup kami lebih ringan.”

Di Pulau Burung, cahaya bukan sekadar terang. Ia adalah harapan. Ia adalah arah pulang. Ia adalah masa depan yang dijaga agar tak padam.

Dan selama PLTD bertahan, selama sinergi pemerintah dan PLN terus berjalan, selama ada orang seperti Nur yang percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil, cahaya itu akan tetap menyala—di ujung pulau yang jauh, namun tak pernah ingin ketinggalan.

Pewarta :
Editor: Afut Syafril Nursyirwan
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.