Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani mempertanyakan mengapa pihak Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) bisa mengeluarkan paspor untuk buronan kasus hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra.
"Djoko Tjandra sudah menanggalkan kewarganegaraan Indonesia dan menjadi warga negara Papua Nugini, lalu bagaimana seorang WNA bisa mendapatkan paspor Indonesia," kata Arsul dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Dirjen Imigrasi Kemenkumham di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Baca juga: Pembuatan paspor di Pekanbaru aktif lagi, kuota dikurangi 50 persen. Begini penjelasannya
Dia mempertanyakan pihak Keimigrasian Kemenkumham bisa mengeluarkan paspor pada seseorang khususnya paspor Djoko Tjandra yang diterbitkan dari Kantor Imigrasi Jakarta Utara.
Menurut dia, Ditjen Imigrasi Kemenkumham harus menjelaskan proses kehati-hatian sebelum mengeluarkan paspor kepada seseorang karena semua warga sudah mengetahui bahwa Djoko Tjandro merupakan seorang buronan.
"Seluruh masyarakat Indonesia sudah tahu kalau Djoko Tjandra merupakan buronan dan terpidana, saya ingin Dirjen Imigrasi memberikan jawaban apa adanya. Kalau ada kelalaian dan kesalahan, akui saja," ujarnya.
Arsul mengatakan Djoko dengan status buronan datang ke Kantor Imigrasi untuk membuat paspor lalu apakah Ditjen Imigrasi Kemenkumham telah melakukan kerja sama dengan Kejaksaan dan Kepolisian sebelum mengeluarkan paspor tersebut.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PAN Syarifuddin Sudding mengatakan dalam kasus Djoko Tjandra terdapat keanehan karena yang bersangkutan sebagai warga negara asing dan buronan yang telah berkekuatan hukum tetap bisa lolos masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi.
Menurut dia, seseorang napi yang telah memiliki kekuatan hukum tetap lalu mengapa pihak imigrasi bisa mengeluarkan paspor atas nama Djoko Tjandra pada tanggal 23 Juni.
"Ini jadi pengetahuan umum dan tidak perlu cari alasan. orang ini merupakan napi yang (kasusnya) telah berkekuatan hukum tetap, tapi kenapa paspor atas nama yang bersangkutan bisa keluar tanggal 23 Juni yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Jakarta Utara tanpa koordinasi dengan penegak hukum," katanya.
Sudding mempertanyakan sistem keimigrasian yang ada karena kenapa bisa tidak terdeteksi pencarian seorang yang berstatus daftar pencarian orang (DPO), lalu bagaimana koordinasi dengan penegak hukum.
Rapat tersebut dipimpin Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery dengan dihadiri Dirjen Imigrasi Kemenmumham Djoni Ginting.
Pewarta: Imam Budilaksono