Pekanbaru (ANTARA) - Pengamat Ekonomi Universitas Riau Dahlan Tampubolon menegaskan harga Pertamax, atau umumnya Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi di Riau masih terbilang tinggi ketimbang provinsi lain, seperti Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
"Pertamax, yang menjadi standar BBM bagi kendaraan, harganya di Riau Rp9.600 per liter, ini masih mahal dibanding dengan provinsi tetangga, Sumatera Barat dan Jambi Rp9.400, bahkan Sumatera Utara hanya Rp9.200 per liter," kata Dahlan Tampubolon menanggapi penyesuaian harga BBM di Pekanbaru, Senin.
Dahlan menjelaskan meski per tanggal 5 Januari 2020, diberlakukan penyesuaian harga untuk BBM secara nasional, yang menurunkan harga eceran Pertamax di Riau dari harga semula Rp10.250 menjadi Rp9.600 per liter, termasuk BBM subsidi lainnya. Namun harga itu masih terbilang mahal, bagi daerah yang nota bene penghasil Migas terbesar itu.
Walau ada penyesuaian harga oleh pemerintah dalam rangka mengimplementasikan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM 187K/10/MEM/2019 tentang formula harga dasar dalam perhitungan harga jual eceran jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) umum jenis Bensin dan Solar yang disalurkan melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN). Namun masyarakat Riau belum mendapat hak satu harganya.
Sebut Dahlan, secara umum penurunan sebesar Rp650 per liter (untuk pertamax) dan Rp700 (untuk dexlite) akan mendorong kenaikan daya beli masyarakat. Pemerintah pusat telah melaksanakan BBM satu harga, artinya untuk BBM subsidi (penugasan) harga yang ditetapkan sama di seluruh wilayah NKRI. Demikian pula dengan BBM non-subsidi akan diberlakukan harga relatif sama.
"Namun kenyataannya, Riau negeri penghasil minyak bumi justru masyarakatnya tidak menikmati BBM satu harga secara nasional itu," ujarnya.
Dahlan menjelaskan hal ini dikarenakan pemerintah di Provinsi Riau, termasuk Pemerintah Kabupaten dan kota masih mematok Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) yang tinggi ketimbang provinsi lain.
"PBB -KB Riau masih tetap 10%, kecuali BBM subsidi dan Pertalite," tegas Dahlan.
Padahal sambung dia, dalam UU 28/2009, ditentukan batas PBB-KB minimal 5 % hingga 10%. Artinya kenapa provinsi lain bisa memberlakukan batas minimal yakni 5% bagi PBB-KB nya, sehingga masyarakat terbantu.
"Pajak utama Riau dari PKB, BBN-KB dan PBB-KB, sedangkan pajak yang lain relatif kecil. Apalagi PAD dari laba BUMD, gak jelas. Hanya Bank Riau Kepri yang masih memungkinkan mengisi pundi - pundi PAD Riau," tuturnya.
Kuncinya jelas Dahlan, Provinsi Riau masih mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) nya dari bagi hasil sumberdaya alam berupa minyak dan gas. Tidak kreatif mengelola sumber-sumber lainnya yang masih berpotensi lebih besar.
"PAD utama Provinsi hanya dari pajak. Sedangkan dari retribusi relatif kecil, karena banyak pengurusan perizinan berada di kabupaten/ kota," pungkasnya.
Baca juga: Kemarin, Pertamina turunkan harga BBM
Berita Lainnya
Pertamina Patra Niaga siap lanjutkan program BBM Satu Harga di 2025
19 December 2024 15:47 WIB
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pantau ketersediaan BBM nelayan di Maluku
18 December 2024 12:42 WIB
Konsumsi BBM di Riau diprediksi naik 2,9 persen jelang akhir tahun
17 December 2024 7:23 WIB
Pertamina Patraniaga Sumbagut bentuk satgas jaga kelancaran distribusi energi
16 December 2024 10:14 WIB
Waduh, Danramil tampar manajer SPBU terkait QR Code BBM di Palu
07 December 2024 5:55 WIB
Menteri ESDM Bahlil beri sinyal ojol tetap dapat subsidi BBM dengan skema UMKM
04 December 2024 17:05 WIB
Bahlil sebut skema subsidi BBM hampir selesai, tunggu lapor Presiden Prabowo
22 November 2024 14:00 WIB
Inisiatif hijau : PLN gandeng 6 SMK di Riau ubah motor BBM jadi listrik
20 November 2024 10:09 WIB