Oleh Michael Teguh Adiputra Siahaan
Jakarta, (Antarariau.com) - Dengan banyaknya peraturan yang mengikat, menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia bukanlah perkara mudah.
Pegawai negeri sipil--saat ini dikenal dengan sebutan aparatur sipil negara (ASN)--hanya boleh bertindak untuk satu nama: negara. Oleh karena itu, menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada tanggal 9 Desember 2015, para pekerja negeri sudah diwanti-wanti untuk menjaga netralitas, terutama di daerah yang kepala daerahnya kembali mencalonkan diri jadi pemimpin atau petahana.
Pemerintah tidak tinggal diam. Pada akhir Juni 2015, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi mengatakan bahwa dirinya telah mengeluarkan surat edaran terkait dengan netralitas ASN dalam pilkada serentak.
Surat Edaran Menpan_RB Nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tersebut merupakan penegasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU No. 23/2014 tentang Otonomi Daerah, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Isi dari surat edaran tersebut adalah melarang seluruh pegawai negeri sipil terlibat dalam kegiatan kampanye, baik menjadi anggota maupun terlibat di dalamnya.
"Para ASN tidak diperkenankan menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye. Selain itu, juga tidak diperbolehkan mengganggu jalannya kampanye calon pimpinan daerah," tutur Yuddy.
Oleh karena itu, dia juga mengimbau warga agar tidak mengajak ASN untuk terlibat dalam pilkada.
Jika ada indikasi keterlibatan, kata dia, oknum itu akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Tentu kami akan memberikan hukuman yang proporsional," katanya.
Adapun sanksi yang diberikan sesuai dengan UU No. 5/2014 tentang ASN, yaitu PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik akan dijatuhi hukuman berupa diberhentikan dengan tidak hormat.
Kemenpan-RB menyatakan bahwa SE Menpan_RB No. B/2355/M.PANRB/07/2015 tentang Netralitas ASN dan Larangan Penggunaan Aset Pemerintah dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak tersebut ditujukan kepada para menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, para kepala lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), para sekjen lembaga negara, para pimpinan kesekretariatan lembaga nonstruktural, para gubernur, bupati, dan wali kota.
Sementara itu, menurut komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Nasrullah, bentuk-bentuk hukuman yang diberikan disesuaikan dengan perundang-undangan yang berlaku. Bisa berupa denda, sanksi administrasi, hingga pidana, sesuai dengan UU No. 8/2015 tentang Perubahan atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, selain tentunya UU No. 5/2014 tentang ASN.
Bersambung ke hal 2 ...