Mengenal hemofilia, kondisi dimana perdarahan sulit berhenti

id Hemofilia,HMHI

Mengenal hemofilia, kondisi dimana perdarahan sulit berhenti

HMHI saat Kongres Nasional ke-7 di Pekanbaru pada 14 Juli 2024. (ANTARA/dok)

Pekanbaru (ANTARA) - Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) menggelar Kongres Nasional (Konas) ke-7 di Pekanbaru pada 13-14 Juli 2024 untuk meningkatkan tatalaksana hemofilia.

Hemofilia sendiri merupakan kondisi dimana perdarahan sulit berhenti. Pada kondisi yang lebih berat, pasien hemofilia dapat mengalami perdarahan spontan tanpa diketahui penyebab jelasnya, serta perdarahan setelah cedera atau pembedahan.

Ketua ad interim HMHI Dr dr Novie Amelia Chozie, SpA(K), menyebutkan kebanyakan pasien hemofilia adalah laki-laki. Diperkirakan terdapat sekitar 400 ribu penderita hemofilia di seluruh dunia.

Di Indonesia, diperkirakan terdapat 27 ribu pasien hemofilia. Namun, sampai dengan 2021, hanya sekitar 3 ribu pasien yang terdiagnosis dan tercatat dalam Annual Report 2021 oleh World Federation of Haemophilia.

Novie menilai penanganan pasien hemofilia di Indonesia masih belum optimal dan masih tergolong kurang terdiagnosis (underdiagnosed).

Biasanya pasien cenderung baru didiagnosis setelah terjadi perdarahan berat, yang tentunya berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi kecacatan bahkan kematian.

"Saat ini saja, di Indonesia baru sekitar 11 persen yang terdiagnosis memiliki hemofilia. Banyaknya tantangan dalam hal diagnosis dan tata laksana hemofilia tentunya berdampak terhadap terjadinya komplikasi dan perburukan kualitas hidup pasien," terangnya.

Dr Novie melanjutkan salah satu komplikasi berat yang dapat terjadi adalah terbentuknya inhibitor. Inhibitor dapat meningkatkan risiko perdarahan serius serta kelainan sendi yang progresif.

Berdasarkan data penelitian inhibitor di Indonesia tahun 2022, prevalensi inhibitor pada pasien hemofilia anak di Indonesia adalah 9,6 persen.

"Ini menunjukkan bahwa kita perlu memperbaiki sistem penanganan hemofilia untuk mengurangi risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi serta meningkatkan kualitas hidup pasien, baik untuk pasien hemofilia dengan atau tanpa inhibitor," sebut Novie.

Menurutnya, hemofilia merupakan kelainan bawaan berupa perdarahan yang terjadi seumur hidup, akibat kekurangan faktor pembekuan dalam darah. Penyakit ini membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat agar pasien dapat memiliki kehidupan yang normal.

"Bagi kami, sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan serta kapasitas dari para tenaga kesehatan di Indonesia mengenai diagnosis dan dan tatalaksana hemofilia yang komprehensif, serta melibatkan multidisipin," paparnya.

Pada saat yang sama, pihaknya juga terus mengedukasi masyarakat dan pasien untuk lebih waspada terhadap gejala-gejala hemofilia seperti cenderung mudah mengalami memar di permukaan kulit, perdarahan yang sulit berhenti, terdapat darah pada urine dan feses.

"Semakin cepat hemofilia didiagnosis dan ditangani, semakin optimal pengobatan yang dapat diberikan,” papar dr. Novie.

Ketua Panitia Kongres Nasional HMHI Dr. dr. Elmi Ridar, SpA(K), menjelaskan bahwa fokus pembahasan kongres tahun ini adalah mencapai akses yang setara guna meningkatkan diagnosis dan perawatan optimal bagi pasien hemofilia dan penyakit gangguan perdarahan lainnya.

"Kami menyadari bahwa fasilitas penanganan hemofilia di Indonesia, terutama di pelosok, kepulauan, dan daerah terpencil, masih kurang optimal. Hal ini menyebabkan banyak pasien tidak dapat diselamatkan," ungkapnya.

Dikatakan Elmi, di Riau saja terdapat 142 pasien yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota, dimana 50 persen diantaranya adalah hemofilia berat.

"Sayangnya, saat ini di Riau masih belum ada fasilitas pemeriksaan hemofilia inhibitor. Jadi untuk pemeriksaan inhibitor masih harus dikirim ke Jakarta," tuturnya.

Melalui Konas ini, ia berharap dapat meningkatkan pengetahuan dan kapasitas tenaga kesehatan dalam diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi pasien hemofilia.