DJP: Program pengungkapan sukarela miliki banyak manfaat untuk Wajib Pajak
Jakarta (ANTARA) - Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) memiliki banyak manfaat untuk Wajib Pajak (WP), sehingga WP diharapkan dapat berpartisipasi.
Ia memaparkan manfaat yang akan diperoleh WP di antaranya, terbebas dari sanksi administratif dan perlindungan data bahwa data harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.
"PPS adalah kesempatan yang diberikan kepada WP untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan pengungkapan harta," kata Neilmaldrin dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan PPS diselenggarakan dengan asas kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP, sebelum penegakan hukum dilakukan dengan basis data dari pertukaran data otomatis (AEoI) dan data ILAP yang dimiliki DJP.
Terdapat dua kebijakan penyelenggaraan PPS, yakni pertama peserta WP Orang Pribadi (OP) dengan basis pengungkapan harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan saat mengikuti tax amnesty, yang akan dikenakan tarif 11 persen untuk harta deklarasi luar negeri dan 8 persen untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri.
Sementara, untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan dalam surat berharga negara (SBN), hilirisasi sumber daya alam, atau energi terbarukan, dikenakan tarif PPS sebesar 6 persen.
Dalam kebijakan kedua, peserta PPS adalah WP dengan harta perolehan tahun 2016-2020yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020, dengan tarif yang dikenakan sebesar 18 persen untuk harta deklarasi luar negeri dan 14 persen untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri.
Sedangkan untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan dalam surat berharga negara (SBN), hilirisasi sumber daya alam, atau energi terbarukan, dikenakan tarif PPS sebesar 12 persen.
Neilmaldrin menuturkan kebijakan kedua harus memenuhi syarat tidak sedang diperiksa atau dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk tahun pajak 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020, serta tidak sedang dilakukan penyidikan dalam proses peradilan, atau sedang menjalani tindak pidana di bidang perpajakan.
PPS akan dilaksanakan selama enam bulan, yakni dari 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022, sehingga pemerintah telah menetapkan PMK-196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak pada 22 Desember 2021 dan mengundangkannya pada 23 Desember 2021.
Pengungkapan dilakukan dengan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) yang disampaikan secara elektronik melalui laman https://pajak.go.id/pps serta dilengkapi dengan SPPH induk, bukti pembayaran PPh Final, daftar rincian harta bersih, daftar utang, serta pernyataan repatriasi dan/atau investasi.
Adapun tambahan kelengkapan untuk peserta kebijakan kedua yakni pernyataan mencabut permohonan (restitusi atau upaya hukum) dan surat permohonan pencabutan banding, gugatan, serta peninjauan Kembali.
Ia mengungkapkan peserta PPS dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya untuk membetulkan SPPH apabila ada perubahan harta bersih atau kesalahan tulis, hitung, maupun perubahan tarif.
Peserta PPS dapat mencabut keikutsertaan dalam PPS dengan mengisi SPPH selanjutnya dengan nilai nol dan peserta PPS yang mencabut SPPH dianggap tidak ikut PPS serta tidak dapat lagi menyampaikan SPPH berikutnya.
Pembayaran dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak (KAP) PPh Final 411128 dan Kode Jenis Setoran (KJS) untuk kebijakan pertama adalah 427, sementara untuk kebijakan kedua yakni 428, di mana pembayaran tidak dapat dilakukan dengan pemindahbukuan, sehingga PPh Final yang harus dibayarkan sebesar tarif dikali nilai harta bersih alias harta dikurang utang.
Ia memaparkan manfaat yang akan diperoleh WP di antaranya, terbebas dari sanksi administratif dan perlindungan data bahwa data harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.
"PPS adalah kesempatan yang diberikan kepada WP untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan pengungkapan harta," kata Neilmaldrin dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan PPS diselenggarakan dengan asas kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP, sebelum penegakan hukum dilakukan dengan basis data dari pertukaran data otomatis (AEoI) dan data ILAP yang dimiliki DJP.
Terdapat dua kebijakan penyelenggaraan PPS, yakni pertama peserta WP Orang Pribadi (OP) dengan basis pengungkapan harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan saat mengikuti tax amnesty, yang akan dikenakan tarif 11 persen untuk harta deklarasi luar negeri dan 8 persen untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri.
Sementara, untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan dalam surat berharga negara (SBN), hilirisasi sumber daya alam, atau energi terbarukan, dikenakan tarif PPS sebesar 6 persen.
Dalam kebijakan kedua, peserta PPS adalah WP dengan harta perolehan tahun 2016-2020yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020, dengan tarif yang dikenakan sebesar 18 persen untuk harta deklarasi luar negeri dan 14 persen untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri.
Sedangkan untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan dalam surat berharga negara (SBN), hilirisasi sumber daya alam, atau energi terbarukan, dikenakan tarif PPS sebesar 12 persen.
Neilmaldrin menuturkan kebijakan kedua harus memenuhi syarat tidak sedang diperiksa atau dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk tahun pajak 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020, serta tidak sedang dilakukan penyidikan dalam proses peradilan, atau sedang menjalani tindak pidana di bidang perpajakan.
PPS akan dilaksanakan selama enam bulan, yakni dari 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022, sehingga pemerintah telah menetapkan PMK-196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak pada 22 Desember 2021 dan mengundangkannya pada 23 Desember 2021.
Pengungkapan dilakukan dengan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) yang disampaikan secara elektronik melalui laman https://pajak.go.id/pps serta dilengkapi dengan SPPH induk, bukti pembayaran PPh Final, daftar rincian harta bersih, daftar utang, serta pernyataan repatriasi dan/atau investasi.
Adapun tambahan kelengkapan untuk peserta kebijakan kedua yakni pernyataan mencabut permohonan (restitusi atau upaya hukum) dan surat permohonan pencabutan banding, gugatan, serta peninjauan Kembali.
Ia mengungkapkan peserta PPS dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya untuk membetulkan SPPH apabila ada perubahan harta bersih atau kesalahan tulis, hitung, maupun perubahan tarif.
Peserta PPS dapat mencabut keikutsertaan dalam PPS dengan mengisi SPPH selanjutnya dengan nilai nol dan peserta PPS yang mencabut SPPH dianggap tidak ikut PPS serta tidak dapat lagi menyampaikan SPPH berikutnya.
Pembayaran dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak (KAP) PPh Final 411128 dan Kode Jenis Setoran (KJS) untuk kebijakan pertama adalah 427, sementara untuk kebijakan kedua yakni 428, di mana pembayaran tidak dapat dilakukan dengan pemindahbukuan, sehingga PPh Final yang harus dibayarkan sebesar tarif dikali nilai harta bersih alias harta dikurang utang.