Jakarta, (Antarariau.com) - Jumlah kasus retak atau patah tulang (bone fracture) di Indonesia cukup besar, yang pada 2010 mencapai 43.003 kasus, dengan penyebab selain karena kecelakaan lalu lintas, juga akibat cedera pada saat beraktivitas.
Penanganan medis untuk kasus patah tulang biasanya dengan tindakan operasi bedah untuk pemasangan komponen implan tulang, dengan material yang umum digunakan adalah "stainless steel 316L".
Rumah sakit-rumah sakit di Indonesia selama ini umumnya menggunakan produk "Synthes" dari Swiss yang merupakan perusahaan pembuat implan tulang terbesar di dunia.
Produk alat kesehatan yang beredar di dalam negeri, faktanya memang masih didominasi produk impor yang proporsinya mencapai 94 persen, termasuk implan tulang yang 100 persen hasil impor dan berharga tidak murah.
Angka kecelakaan dan kasus patah tulang yang terus meningkat dari tahun ke tahun membuat pemasangan implan tulang yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan beberapa tahun terakhir ini pun mencapai sekitar 50.000 unit per tahunnya.
Kondisi ini dinilai menjadi salah satu penyumbang defisit BPJS Kesehatan yang mencapai Rp5,8 triliun pada 2015 dan Rp6,7 triliun pada 2016 karena klaim yang meningkat, sementara tarif premi sulit untuk dinaikkan.
Situasi yang memprihatinkan ini kini sebagian mulai mendapatkan solusi, karena Pusat Teknologi Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah meneliti dan mengembangkan material implan tulang.
BPPT memang bertekad merealisasikan hasil inovasinya tersebut dengan menggandeng RSUD dr Soetomo Surabaya dan kemudian PT Zenith Allmart Precisindo yang berlokasi di Desa Sirapan, Kabupaten Sidoarjo, Jatim yang sebelumnya merupakan industri pengecoran logam non-kesehatan.
Dana Insentif
Dengan mengajukan pendanaan insentif inovasi industri ke Kementerian Ristekdikti, akhirnya pengembangan implan tulang ini memperoleh dana APBN sekitar Rp700-800 juta pada 2015 yang digunakan untuk melakukan perbaikan sistem produksi sesuai standar medis.
Hasilnya berupa pembuatan tiga jenis prototipe implan tulang yang biasa digunakan oleh dokter orthopedi dengan jumlah 400 keping implan, berhubung implan tulang harus memiliki berbagai bentuk, seperti panjang, pendek, kecil, besar, lurus, berlekuk dan lain-lain.
"Pada manusia ada 26 jenis tulang, setiap jenis ada sekitar 200 bahkan sampai 400 varian. Misalnya, untuk tulang tengkorak ada banyak 'items', tungkai kaki dan lengan juga begitu, total 2.600 'items'. Selain itu, harus ada yang bisa 'costumized' sesuai trauma tulang pasien," kata Direktur Pusat Teknologi Material BPPT Asep Riswoko.
Pada 2016, dana Kemristekdikti berikutnya bernilai sama digunakan untuk uji selanjutnya dengan memproduksi prototipe 15 jenis implan tulang dengan jumlah 900 keping implan.
Akhirnya, kerja keras mulai membuahkan hasil, stainless steel implan tulang SS 316L siap diedarkan dan digunakan masyarakat setelah mendapat sertifikasi produksi dan izin edar yang diterbitkan Kementerian Kesehatan pada 20 Oktober 2017.
Stainless steel 316L ini, tegas Asep, juga telah memenuhi persyaratan komposisi kimia bahan sesuai ASTM F138 (316L Implant Quality) dan kekuatan mekanis ASTM F138 (316L Implant Quality) sehingga tidak diragukan lagi untuk digunakan.
"Sedangkan hasil uji medis kualitasnya juga tidak jauh berbeda dengan implan impor, seperti produk Synthes dari Swiss yang banyak dijadikan acuan dalam dunia medis," tuturnya.
Ia mengakui, di dalam negeri memang sudah ada juga yang memproduksi implan tulang, namun bahan bakunya berupa lempeng, tetap diimpor, lalu di dalam negeri dipotong-potong (cutting) menjadi implan sehingga harganya tetap mahal.
Sedangkan produk implan tulang inovasi BPPT bersama Zenith yang diberi nama "Zenmed+" ini, memanfaatkan ferro-nickel lokal hasil produk PT Aneka Tambang di Pomala, Sulawesi Tenggara sebagai bahan baku utama.
Selain itu, sistem produksinya menggunakan teknologi "investment casting" suatu proses pengecoran yang menghitung presisi dengan optimasi "gas diffuser" yang mencetak langsung dari peleburan logam, di mana satu kali cor dalam satu tangkai sarang bisa menghasilkan 30 keping implan tulang.
Dengan demikian produksinya bersifat massal, jauh lebih cepat dan homogen, sehingga harganya bisa lebih ditekan, ujar Asep.
Lebih Murah
Sebagai contoh, harga per keping implan impor "small T plate" yang bisa mencapai Rp3,6 juta dan implan rakitan lokal dengan teknologi dan bahan baku impor yang harganya Rp2,2 juta, bisa ditekan menjadi Rp1 juta saja per keping.
Kelebihan lainnya, kata Presdir PT Zenith AP Allan Changrawinata, produk ini juga sudah menggunakan antropometri (pengukuran dimensi tubuh, termasuk tulang) orang Asia, karena implan tulang impor biasanya menggunakan antropometri orang Eropa.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri ini, ia menargetkan bisa memproduksi lebih dari 120 ribu keping implan per tahun dengan potensi pasar Rp600 miliar per tahun.
Pihaknya juga menargetkan bisa mulai memproduksi penambahan 1.200 "items" lagi pada 2018 dan mulai melakukan penelitian dan pengembangan material implan tulang berbahan titanium dan cobalt yang kelasnya lebih tinggi.
Sepuluh persen dari setiap keping yang terjual merupakan imbal jasa untuk pemerintah, berupa royalti, pajak dan lainnya, ucap Allan.
Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material BPPT Dr Hammam Riza merasa optimistis implan tulang ini bisa menggantikan produk impor karena selain murah, juga sudah akan masuk dalam "e-katalog" Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Dengan terdaftar dalam e-katalog, maka rumah sakit di mana saja bisa melakukan transaksi untuk mendapatkan implan tulang Zenmed+ ini dengan mudah sesuai kebutuhan pasiennya, apalagi sudah bisa ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Produk implan tulang buatan dalam negeri ini tampaknya menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia sebenarnya bisa mandiri jika memiliki tekad kuat, dan mampu mengurangi impor alat-alat kesehatan yang nilai totalnya diperkirakan hampir Rp50 triliun.
Artinya, jika implan tulang ini bisa digunakan sebanyak 35 persen saja untuk penanganan medis nasional, maka akan ada penghematan devisa 65-70 persen, ditambah lagi bisa mengurangi beban BPJS Kesehatan pada Negara yang angkanya terus meningkat.