Oleh Edy Supriatna Sjafei
Jakarta, (Antarariau.com) - Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Haji Umroh dan in-Bound Indonesia (ASPHURINDO) KH Hafidz Taftazani memberi apresiasi kepada pemerintah Indonesia dan Saudi Arabia yang bekerja dengan baik menangani musibah crane di Masjidil Haram.
Para pekerja setempat melakukan pengamanan dan memberi pertolongan dengan cepat kepada para korban.
Pihak otoritas setempat pun melakukan komunikasi dengan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi dengan baik, kata Hafidz di Jakarta.
KH Hafidz Taftanzani yang juga pimpinan dari asosiasi penyelenggara haji khusus itu berharap peristiwa tersebut ke depan dapat diantisipasi.
Namun di sisi lain, ia pun menyadari kejadian pada tragedi robohnya tower crane di Masjidilharam, Mekkah, itu harus dipahami sebagai musibah yang datangnya dari Allah semata.
"Sudah kehendak Ilahi. Menurut saya, sulit diprediksi. Apa lagi peristiwa semacam itu, tak pernah terjadi sebelumnya," katanya, Senin.
Musibah bisa datang kapan saja dan terjadi di berbagai tempat. Namun khusus peristiwa di Mekkah sekali ini benar-benar di luar logika manusia. Karena itu ia berharap seluruh jamaah Indonesia bisa menerima dengan lapang dada.
Musibah ini dinilai terjadi karena faktor alam. "Angin kencang berkecepatan 83 km/jam dan hujan deras merupakan penyebab insiden," kata Direktur Jenderal Otoritas Pertahanan Sipil Arab Saudi, Letnan Sulayman Bin-Abdullah al-Amr yang dikutip BBC.
Diakui Hafidz, banyak jamaah haji Indonesia menginginkan wafat di Mekkah. Tetapi Allah berkehendak lain. Pada peristiwa itu, hingga kini tercatat 10 jemaah Indonesia wafat dan hingga Senin (14/9) petang jamaah yang dirawat di rumah sakit setempat mencapai 23 orang.
Hafirdz menuturkan, bagi Indonesia peristiwa memilukan dalam penyelenggaraan haji bukan sekali ini saja. Lihat peristiwa jatuhnya pesawat haji pada dini hari 15 November 1978.
Pesawat DC-8 63 CF Loftleider Icelandic membawa 249 jamaah haji asal Indonesia kecelakaan di Bandara Katunayake, Colombo, Sri Lanka. Sebanyak 174 penumpang tewas dalam kecelakaan tersebut.
Untuk mengenang peristiwa itu, 74 korban yang selamat membentuk Ikatan Keluarga Haji Colombo 78.
Peristiwa berikutnya adalah insiden Jamarat Mina. Kejadian pada 12 Januari 2006. Kejadian ini lebih dikenal sebagai insiden jamarat Mina.
Jamaah saling dorong saat melempar jumrah dalam rangkaian ibadah haji 2006 di Al-Jamarat, Mina, Mekkah, Arab Saudi. Menurut Departemen Agama Republik Indonesia, sebanyak 362 orang wafat.
Lantas peristiwa lebih memilukan lagi terjadi pada 2 Juli 1990. Kabar duka dari Tanah Suci menyebut 1.426 jamaah dilaporkan meninggal dunia akibat berdesak-desakan dan saling injak di terowongan Haratul Lisan, Mina.
Seperti diberitakan Antara, dari seluruh "syuhada haji" yang meninggal dunia, 631 di antaranya berasal dari Indonesia.
Momen menyedihkan itu diduga kuat terjadi karena jamaah, baik yang akan pergi melempar jumrah maupun pulang, berebutan dari dua arah untuk memasuki satu-satunya terowongan yang menghubungkan tempat jumrah dan Haratul Lisan.
Dalam kondisi minim oksigen dan panik, mereka saling injak.
Kondisi seperti itu tak tertahankan bagi para jamaah. Terutama mereka yang lanjut usia dengan kondisi fisik yang lemah terpapar terik matahari.
Seorang saksi mengatakan laju manusia di dalam terowongan tiba-tiba terhenti. Sementara, dari luar, para jamaah mendesak masuk. Mereka ingin segera mendinginkan tubuh dari teriknya panas yang mencapai 44 derajat Celcius.
Akibatnya, terowongan yang dirancang bisa menampung 1.000 orang, dijejali 5.000 jemaah.
"Dengan oksigen yang berkurang, banyak orang tak sadarkan diri, sebagian meninggal dunia. Mereka yang ada di dalam terowongan berdesakan, bahkan ada yang terinjak-injak," kata seorang saksi mata seperti dimuat New York Times, 3 Juli 1990.
Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Tuty Alawiyah, menjadi saksi mata kejadian tragis tersebut.
Saat peristiwa tersebut terjadi, Tuty hanya berjarak 100 meter dari terowongan dan sedang mengantre. Ia beruntung luput dari celaka.