Pilih Pilih Calon Pemimpin KPK

id pilih pilih calon pemimpin kpk

 Pilih Pilih Calon Pemimpin KPK



Sambungan dari hal 1 ...

"Komisi Pencegahan Korupsi"

Sementara itu, Koordintor Divisi Monitoring Hukum dan Peradialn Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho melihat tren dari pansel saat ini ingin mengarahkan KPK lebih pada pencegahan.

"Jadi, pansel ini menjadikan KPK ini "Komisi Pencegahan Korupsi". Jika fokus pada pencegahan, nanti akan berpengaruh pada calon yang dipilih," kata dia.

Dari persepktif ICW, sebaiknya semuanya harus seimbang. Dalam hal ini, penindakan dan pecegahan harus sama besarnya. Jadi, tidak ada yang lebih dominan.

Ia berpendapat bahwa orang-orang yang menginginkan peran KPK lebih pada pencegahan adalah orang-orang yang terganggu dengan kerja KPK selama ini.

Menurut dia, masih ada pansel yang berpandangan dalam komposisi pimpinan KPK nanti harus ada jaksa dan polisi.

"Kalau dirunut ke belakang, KPK jilid 1, 2, dan 3 tidak ada yang dominan dari polisi atau kejaksaan, artinya tidak perlu bicara soal latar belakang calon, tetapi lebih pada pengalaman dia," katanya.

Emerson menyebutkan ada tiga hal yang perlu diwaspadai oleh Pansel KPK dalam menyeleksi calon pimpinan KPK.

Pertama, soal loyalitas ganda. Hal ini ditujukan bagi calon pimpinan KPK yang berasal dari institusi dan masih aktif.

"Jangan sampai ketika dia terpilih, bosnya dua, yaitu Ketua KPK dan institusi asal," kata dia.

Kedua, yang harus menjadi perhatian pansel adalah melihat kembali apakah calon menjadikan KPK sebagai batu loncatan. Hal ini dikarenakan jabatan sebagai pemimpin KPK sangat strategis untuk menjadi terkenal.

"Kalau kemudian terpilih, di tengah jalan banyak minang, terus dia pindah, kan sayang seleksi yang demikian berat, ini akan jadi proses yang sia-sia," katanya.

Ketiga, apakah calon ingin menjadi pimpinan KPK membawa kepentingan tertentu. Misalnya, pimpinan KPK terpilih adalah orang yang memiliki rekening gendut atau transaksi tidak wajar maka ke depan yang bersangkutan juga tidak akan menyelesaikan masalah-masalah korupsi yang serupa dengan dirinya.

Agar hal-hal itu tidak terjadi, dia menyarankan agar 19 calon untuk membuat pakta mengenai integritas, independensi, dan konflik kepentingan.

"Calon perlu mendeklarasikan agar independensi tidak memiliki loyalitas ganda," kata dia.

Kemudian, mengenai integritas calon harus mendeklarasikan dirinya tidak akan keluar dari KPK sebelum masa jabatannya berakhir. Apabila dia keluar sebelum masa jabatannya selesai, yang bersangkutan harus membayar denda dari akumulasi nilai seleksi calon pimpinan KPK. Hal ini diperlukan agar calon tidak menjadikan jabatan sebagai pimpinan KPK sebagai batu loncatan.

Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universita Andalas Sadli Isra tidak sependapat dengan Emerson. Menurut dia, sah-sah saja calon pimpinan KPK menjadikan jabatan tersebut sebagai batu loncatan.

Ia yang juga anggota Pansel KPK 2011 mengatakan bahwa untuk memutus loyalitas ganda tersebut, caranya adalah pimpinan KPK harus mengundurkan diri dari institusinya saat yang bersangkutan diterima sebagai pimpinan KPK.

Sadli Isra menyarankan pansel terus membuka komunikasi kepada masyarakat yang peduli dengan seleksi calon pimpinan KPK ini, dan menjadikannya pertimbangan untuk memilih pimpinan KPK.

"Bagi pansel, masukan berakhir pada saat membuat SK dan akan diserahkan kepada Presiden. Sebelum itu, masukan dari masyarakat yang bermanfaat harus diterima dan dijadikan sebagai salah satu pertimbangan," kata Sadli Isra.