Pulau Laut Sempadan Negeri Yang Terabaikan

id pulau laut, sempadan negeri, yang terabaikan

Pulau Laut Sempadan Negeri Yang Terabaikan

Sambungan dari hal 1 ...

Makin mendekati Pulau Laut yang bentuknya seperti orang sedang tidur telungkup, air laut terlihat berwarna hijau kosta, jernih. Sesekali terlihat penyu berenang.

Kejernihan air dan putihnya pasir di dasar laut makin terlihat jelas begitu memasuki perairan Tanjung Pala, Ibu Kota Kecamatan Pulau Laut.

Pompong yang telah berlayar tiada henti akhirnya merapat di dermaga kayu yang terlihat sudah lapuk.

"Hati-hati melangkah kayunya sudah banyak lapuk dan pelantar berlobang," ujar Sailun, Sekretaris Desa Tanjung Pala, yang ikut serta dalam pompong saat dari Pulau Bunguran mengingatkan para penumpang.

Ia mengatakan, dermaga yang terlihat amat pajang untuk mencapai perkampungan penduduk itu sekitar 1.226 meter atau 1,2 kilometer. Dari 1,2 kilometer dermaga pelabuhan Tanjung Pala, sepanjang 800 meter dalam kondisi lapuk dan rusak berat sedangkan 426 meter telah dibangun permanen atas bantuan PNPM Mandiri dan CSR BP Migas.

"Jembatan ini dulu dibangun atas swadaya masyarakat, baru tahun kemarin ada bantuan PNMN. Selama ini kami membangun sendiri fasilitas umum," ujar Sailun.

Ia berujar, pemerintah telah menetapkan Pulau Laut beserta tujuh pulau kecil yang berhampiran sebagai satu kecamatan, yakni kecamatan Pulau Laut dan ditandai sebagai kawasan pulau terluar.

Diakuinya, pengakuan sebagai sempadan negeri telah lama disandang Pulau Laut, namun masyarakat di daerah itu belum merasakan nikmatnya menjadi kawasan beranda NKRI yang seharusnya lebih molek, lebih berseri dan lebih "menyerengah" (cantik).

"Sebagai kawasan laman terdepan, seharusnya kami lebih dimajukan dengan cara "dipersolekkan" lagi agar lebih cantik, bukannya dipersulit," ungkap ayah dua anak gadis itu dengan tutur Melayunya.

Dipersolek maksudnya lebih dipercantikkan, lebih diperhatikan dan lebih diutamakan agar orang yang datang melihat menjadi senang dan suka.

Namun, lanjut dia, niat pemerintah menabalkan kawasan perbatasan sebagai beranda depan hanyalah sebagai pertanda atau batas negeri saja, dan untuk membangun daerah terdepan sampai saat ini masih belum dirasakan masyarakat.

Butuh Listrik

Sailun tidak hanya mencontohkan ketidaklayakan jembatan pelabuhan yang panjangnya lebih dari 1,2 kilometer tapi juga ketidakberdayaan listrik di daerah yang berpenduduk sekitar 3.000-an jiwa atau 860 kepala keluarga itu untuk dapat hidup 24 jam.

"Listrik di daerah kami lebih banyak mati daripada hidupnya. Padahal listrik adalah motor pengerak utama ekonomi masyarakat. Jika listrik dapat hidup 24 jam bukan tidak mungkin daerah kami ini amat maju," ungkap Sailun.

Ia mengatakan, listrik desa dikelola oleh perusahaan daerah dengan satu mesin berdaya rendah yang harus melayani dua desa yakni Desa Tanjung Pala dan Desa Kadur. Listrik hanya hidup dari pukul 18.00 Wib hingga pukul 23.00 Wib.

Menurut dia, telah berulangkali pihaknya mengusulkan ke pemerintah daerah kabupaten dan provinsi bahkan bertemu langsung dengan Gubernur Kepri agar kecamatan tersebut disediakan listrik yang hidup normal serta adanya pelabuhan yang layak, jalan beraspal, jaringan komunikasi, transfortasi laut dan ketersediaan air bersih.

Namun, katanya, usulan demi usulan untuk memartabatkan kawasan sempadan negeri itu hanya tinggal dalam bentuk kertas musrenbangda (musyawarah rencana pembangunan daerah) tanpa ada realisasi dari tahun ke tahun.

"Tiap kali musrenbangda kita sampaikan. Menghadap Presiden aja kami belum," ungkap Sailun.

Menurut dia, Pulau Laut disinggahi Kapal Perintis dan Pelni, namun ketiadaan pelabuhan menyebabkan naik turun penumpang dilakukan di tengah laut. Kadang kapal lego jangkar tengah malam buta dan di tengah lautlah bongkar muat barang dan penumpang. Kondisi tersebut sangat rawan dan membahayakan keselamatan.

"Acap juga terjadi tidak hanya barang bawaan penumpang yang jatuh ke laut dalam, tapi juga penumpangnya," tutur dia.

Ia mengatakan sudah menjadi tradisi alam di daerah lintasan samudra luas itu saat musim utara masyarakat tidak dapat keluar dari pulau karena tingginya gelombang laut.

"Saat musim utara gelombang terendah hanya 4-5 meter. Selama lebih kurang 4 bulan dari November hingga akhir Februari kami berkurung di pulau," kata Sailun.

Sejarah telah mencatat bahwa pulau yang dulu diakui sebagai wilayah yang berada di perairan Laut Cina Selatan itu telah dikenal luas sebagai pulau persinggahan para pendatang asing dari berbagai bangsa di dunia dan bukti tersebut hingga kini terdapat di Pulau Laut tidak hanya dihuni suku Melayu tapi suku lain di Tanah Air serta suku bangsa Portugis, India dan China.

"Asimilasi berbagai suku bangsa itulah yang kini menghuni Pulau Laut," ujar Abdul Muin (66) seorang budayawan Natuna yang bermastautin di Sedanau.

Ia mengatakan, dari Pulau Lautlah mengalir sejarah kehidupan tidak hanya seni budaya, agama tapi juga ekonomi ke kawasan lainnya di Natuna.

Perjalanan sejarah Pulau Laut yang melahirkan budaya di pulau-pulau lain di hamparan Laut China Selatan belum dapat menjadi agunan kemajuan daerahnya yang hingga kini masih gelap gulita dan sulit dijangkau karena ketiadaan transportasi yang memadai.

Pesona alam Pulau Laut sangat molek namun ia tetaplah sebuah sempadan negeri yang masyarakatnya hidup rukun, tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi dan masih terisolasi.