Oleh Anom Prihantoro
Jakarta, (Antarariau.com) - Surdi, siswa Sekolah Dasar I Pajagan sempat diduga mengalami patah tulang belakang akibat jatuh dari jembatan gantung Desa Pajagan-Desa Tambak yang ambrol di Sungai Ciberang, Lebak, Banten, Selasa (10/3).
Namun belakangan hasil pemindaian sinar rontgen di Rumah Sakit Umum Daerah Ajidarmo tidak menunjukkan luka parah bagi Surdi meski hampir seminggu dia hanya tergeletak di atas kasur.
Saat digotong dengan tandu, Surdi sesekali nampak menahan sakitnya. Dia hanya pasrah saat dipindahkan ke rumah sakit dari rumah sederhana berpagar anyaman bambu milik orang tuanya.
Sejatinya, dia hanya menuruti kata orang tuanya agar beristirahat di rumah sampai sembuh. Maklum, orang tua memutuskan demikian karena sadar butuh banyak biaya untuk memeriksakan anaknya ke fasilitas kesehatan terdekat. Belum lagi akses transportasi sulit karena menuju rumah sakit membutuhkan perjuangan.
Rute perjalanan dari rumah Surdi di Desa Tambak menuju fasilitas kesehatan adalah jalan tanah yang muat dilalui satu motor dilanjutkan dengan menyeberang Sungai Ciberang dengan perahu, jalanan tanjakan berbatu sepanjang dua kilometer dan sekitar lima kilometer jalan aspal menuju kota.
Belum lagi jika benar ke rumah sakit, orang tua Surdi akan kesulitan akomodasi selama di rumah sakit dan ada lima anak lainnya yang masih kecil menjadi tidak terawat karena ditinggal untuk merawat Surdi.
Beruntung bagi Surdi, kunjungan para pemangku kepentingan pada Senin (16/3) akhirnya membantu dia mendapatkan kemudahan fasilitas pengobatan. Artinya, Surdi baru dibawa ke rumah sakit enam hari setelah dia jatuh.
Menteri Anies Baswedan saat mengunjungi Surdi sempat meyakinkan pihak orang tua agar membolehkan anaknya dibawa ke rumah sakit. Sebelumnya mereka enggan membolehkan tapi akhirnya menerima tawaran Anies.
"Kita harus segera memeriksakan dia karena jangan sampai nanti terlambat penanganannya. Karena tulang belakang itu merupakan aset yang sangat berharga sepanjang hidup dari seorang anak," kata Anies sesaat setelah ikut menandu Surdi yang saat itu belum dipindai Rontgen.
Anies khawatir Surdi mengalami retak atau patah tulang sehingga dirinya berkeras agar siswa SD I Pajagan itu tidak berlama-lama berbaring di rumahnya dan bisa segera bersekolah. Meski akhirnya, dokter RS menyebutkan Surdi hanya mengalami trauma memar di bagian tubuh belakangnya.
Sebelumnya, pihak keluarga hanya merawat Surdi ala kadarnya sejak si bocah terjatuh dari jembatan ambrol pada Selasa (10/3). Mereka tidak banyak mengeluh hingga banyak diberitakan tentang seorang anak yang belum kunjung sekolah setelah jatuh dari jembatan ambrol.
Teman Surdi
Bisa berenang di aliran Sungai Ciberang merupakan sebuah keharusan bagi Herman yang masih kelas 5 Sekolah Dasar I Pajagan hingga kemampuan itulah yang membantunya untuk selamat saat menjadi korban jembatan ambruk penghubung Desa Pajagan-Desa Tambak.
Tak ayal, Herman mengaku beruntung bisa berenang menepi dari derasnya aliran Ciberang karena saat itu dia tercebur ke sungai akibat jatuh dari jembatan setinggi 15 meter bersama 43 teman sekolahnya dan dua pengendara motor pada sekitar pukul 06.30 pagi atau saat jam murid berangkat sekolah, Selasa (10/3).
Total terdapat 46 korban akibat ambrolnya jembatan vital penghubung Desa Pajagan, Kecamatan Sajira, dengan Desa Tambak, Kecamatan Cimarga, Lebak, Banten itu.
Akan berbeda kejadian jika Herman terjatuh dan tenggelam di sungai yang saat itu kedalamannya 2-5 meter. Maklum, perawakannya sekitar 150 sentimeter tentu akan tenggelam di sungai jika dia tidak bisa berenang.
"Hampir semua teman saya bisa berenang, termasuk yang putri," kata Herman yang berkulit sawo matang itu menceritakan kembali kejadian pascaambrolnya jembatan.
Kendati demikian, bocah kecil itu sedih dengan nasib teman lainnya Surdi yang kurang beruntung saat musibah terjadi dengan mengalami luka memar di sekitar punggungnya. Surdi belum kunjung masuk sekolah sementara 43 murid lainnya sudah beraktivitas seperti biasa.
Surdi, anak kedua dari enam bersaudara, sendiri masih harus beristirahat menunggu memar di punggungnya membaik.
Trauma di bagian punggung itu didapatinya karena dia jatuh di bagian pinggir sungai. Nahasnya, dia jatuh tepat di sebuah rakit dari bambu milik warga. Tak di situ saja, dia juga tertimpa sejumlah sempalan jembatan ambruk perpaduan kerangka jembatan dan kayu lapuk yang belum kunjung diganti.
Korban lainnya juga mengalami luka tetapi mereka masih mampu beraktivitas seperti biasa.
Jembatan Gantung
Ambrolnya jembatan gantung di Sungai Ciberang menjadi sebuah penanda terdapat kelalaian dalam perawatannya. Sebagian kabel tembaga yang masih menggantung nampak berkarat disertai bantalan kayu lapuk dimakan waktu.
Suherman, perwakilan warga Desa Tambak mengatakan tidak ingin menyalahkan siapapun atas ambrolnya jembatan. Menurut dia, warga sudah berupaya merawat sarana penghubung dua desa dan dua kecamatan itu meski secara swadaya. Maklum, pemerintah daerah Kabupaten Lebak tidak pernah memprioritaskan dananya untuk pembangunan ataupun perawatan jembatan gantung dekat Desa Pajagan dan Desa Tambak itu.
"Di Tambak ada empat jembatan seperti ini dengan dua sudah direnovasi. Tapi yang di sini selalu tidak kebagian dana renovasi," kata Suherman saat ditemui di tepi Sungai Ciberang.
Menurut dia, pemda tidak pernah memprioritaskan jembatan gantung Pajagan-Tambak itu karena kawasan itu akan menjadi daerah rendaman Waduk Karian.
Hal itu dibenarkan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya yang mengatakan pembangunan jembatan penghubung Pajagan-Tambak hanya akan menjadi pemborosan anggaran karena dalam waktu dekat akan ditenggelamkan karena menjadi area pembebasan lahan untuk waduk.
Iti mengatakan Kabupaten Lebak memiliki 960 unit jembatan gantung dengan 360 di antaranya rusak.
"Kalau nanti Waduk Karian dibangun, maka akan sia-sia kami alokasikan Rp4 miliar untuk jembatan ini. Sedangkan ada jembatan yang lebih parah daripada ini," kata Iti.
Iti mengaku mengalami dilema terkait jembatan yaitu kecilnya anggaran dari pemerintah pusat dan juga adanya rencana mega proyek Waduk Karian yang belum kunjung terealisasi meski dicanangkan pada 1985.
Suherman kurang setuju dengan pernyataan Bupati Lebak terkait dikesampingkannya renovasi jembatan di desanya itu karena jembatan masuk area rendaman waduk.
Dia sendiri sempat memprotes Iti secara langsung saat keduanya bertatap muka. Perwakilan Desa Tambak itu termasuk orang yang pesimistis terhadap realisasi waduk karena sejak pertengahan 1980-an hingga kini mega proyek itu belum menunjukkan petanda sedikitpun dari pembangunan.
"Katanya pembangunan waduk itu lima sampai sepuluh tahun. Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda pembangunannya. Saya tidak yakin dengan realisasi pembangunan waduk. Maka tolong jembatan ini segera direnovasi karena warga sangat membutuhkannya," kata dia.
Dua orang beda strata itu sempat beradu argumen mengenai apa yang seharusnya dilakukan terhadap jembatan Pajagan-Tambak yang ambrol itu. Hal itu terjadi saat mereka bertemu dalam rangkaian kunjungan Menteri Pendidikan Anies Baswedan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Mochamad Basuki Hadimuljono dan sejumlah pemangku kepentingan.
Setidaknya dua orang itu memiliki keinginan yang sama yaitu didirikannya kembali jembatan yang menjadi tumpuan warga dua desa untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Masyarakat Mandiri
Suherman mengatakan di Desa Tambak terdapat sekitar 500 Kepala Keluarga (KK), sedangkan Desa Pajagan terdapat sekitar 300 KK. Sebagian besar tergantung oleh akses jembatan yang kini ambrol. Sedikit banyak, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) cukup membantu aktivitas warga untuk menyeberang sungai dengan bantuan perahu karetnya.
Kendati demikian, bukan berarti masyarakat tidak mendapati tantangan kala harus menyeberang Sungai Ciberang. Perahu karet memiliki kapasitas 12 orang sekali angkut. Artinya, warga menemui lebih banyak kesulitan jika dibandingkan masa sebelum jembatan ambrol. Jika memilih tidak menyeberang di dekat jembatan ambrol itu, warga harus menempuh jalan sejauh tujuh kilometer dengan memutar.
Sementara bagi para pengendara sepeda motor tentu akan kesulitan menyeberang karena perahu karet tidak memiliki kemampuan menyeberangkan kendaraan bermotor yang beratnya lebih dari 100 kilogram itu. Kontur tanah juga tidak memungkinkan untuk memindahkan motor dari pinggir sungai ke perahu.
Hal itu merupakan dampak dari jembatan ambrol yang tidak diantisipasi pencegahannya. Suherman menekankan warga desa tidak mengeluh dengan musibah itu justru tetap optimistis dan mengambil hikmah dari ambrolnya jembatan.
"Kita ambil hikmahnya saja. Jembatan putus ini mengingatkan kita bahwa ada yang perlu dirawat dan jangan tunggu hingga ambruk serta memakan korban. Kami juga menunjukkan diri sebagai warga yang tidak pernah mengeluh meski tidak mendapat alokasi renovasi jembatan di masa dulu, kami memperbaikinya secara swadaya sampai jembatan ambruk kemarin," kata dia.
Suherman mengaku tidak meminta banyak hal tapi satu yaitu renovasi jembatan yang menjadi tumpuan warga dua desa.