Pekanbaru (ANTARA) - Pria kelahiran Kampung Baru Toar, Kuantan Singingi, Riau tahun 1980 ini,  rindu sekali berenang dan menikmati jernihnya air Sungai  Kuantan,  seperti  saat masa kanak-kanak.

Kerinduan itu kini masih terpendam, dan sepertinya akan tinggal  mimpi dikarenakan air Sungai  Kuantan  sudah  tercemar oleh limbah merkuri, akibat Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI)  yang kini masih marak di sekitar wilayah itu.

"Saya hanya bisa mengenang, dan bercerita betapa jernihnya air Sungai Kuantan kala  itu kepada anak-anak," kata  Zamzami Kamal kepada  ANTARA saat dijumpai di Kuansing pada acara Focus Group Discussion (FGD) Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan, oleh WWF  Indonesia di Kuansing, Selasa.

Dikatakan pria yang kini menjadi Plt Kepala SMPN 6 Teluk Kuantan ini, sekarang air Sungai Kuantan  menjadi keruh, kotor dan semua jenis ikan yang ada di dalamnya juga ikut terpapar. Padahal dua puluh tahun lalu air Sungai Kuantan masih  bisa  dipakai sebagai  kebutuhan sehari-hari seperti  mandi dan mencuci.

Penambangan emas liar juga sudah  membuat  kerugian secara langsung bagi  masyarakat  yang bermukim di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan  hilangnya mata pencarian sebagai nelayan.

"Kini semua jenis ikan itu punah dan bahkan kalau ada, warga juga tidak berani mengkonsumsi ikan yang sudah tercemar merkuri tersebut," katanya.

Makanya, ia sangat mendukung upaya yang dilakukan WWF Indonesia untuk pelestarian lingkungan melalui dunia pendidikan. Isu lingkungan penting bagi guru sebagai corong penyampaian pemahaman lingkungan yang berkelanjutan itu  bagi siswa. Anak -anaklah  nantinya  yang akan  meneruskan, menikmati, mengelola dan melestarikan   hasil alam itu.


  Salah satu bentu grup diskusi terfokus (FGD). (ANTARA/Vera Lusiana)

Bentuk FGD

Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (Education for Sustainable Development/ESD) merupakan visi baru pendidikan guna menumbuhkan pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai dan sikap yang mendukung upaya individu, sekolah, dan masyarakat untuk mempromosikan pikiran yang adil dan keadilan, keamanan ekonomi, menopang ekologis, dan demokrasi.

Hingga saat ini, pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan belum secara maksimal diinternalisasi dalam program pendidikan. Secara umum, baru terfokus pada pendidikan lingkungan hidup dan Adiwiyata. 

Program Manager Central Sumatra WWF Indonesia Dede Hendra Setiawan mengatakan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Kabupaten Kuansing mendapati  adanya tantangan dalam pengajaran untuk pembangunan berkelanjutan mengingat kurangnya kompetensi guru dalam menyampaikan materi dan isu lingkungan karena minimnya panduan dan materi ajar.

"Kebanyakan guru di  Kuansing memiliki pemahaman bahwa isu lingkungan hanya ada dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan ekstrakulikuler Pramuka. Selain itu masih ada misinterpretasi antara pendidikan lingkungan hidup dan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan, karena belum ada pengintegrasian isu pada dua hal tersebut," kata Dede.

Maka sebagai salah satu upaya percontohan WWF Indonesia mencoba melakukan pembahasan bersama antara stake holder terkait, lewat FGD  pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan. Sehingga diperoleh kata sepakat, gerakan bersama untuk mewujudkannya di  sekolah melalui para guru.

"Dengan dilakukannya FGD ini, diharapkan semakin meningkatnya pemahaman akan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan, bagi para guru dan menjadi awal dalam internalisasi pada pendidikan di Kuansing," katanya.  


Membuat modul

Bersama Universitas Islam Riau, WWF Indonesia mendukung pemerintah daerah  Kuansing, dalam upaya peningkatan kapasitas guru melalui pengadaan modul yang berorientasi pada pendidikan pembangunan berkelanjutan.

Dikatakan Dede, sebenarnya  model  kegiatan  pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan. sudah  dikembangkan WWF Indonesia  pada 43  wilayah di Tanah Air sedangkan di Riau ini baru yang pertama.

Beberapa alasan pemilihan Kuansing sebagai percontohan  karena merupakan daerah rawan terjadinya konflik dengan gajah, koridor beberapa area lindung seperti Bukit Batabuh, Rimbang Baling, dan Tesso Nilo. Kemudian Kuansing merupakan sentra kegiatan komoditi berkelanjutan dampingan,  adanya dukungan dari  pemerintah dan sekolah terhadap program tersebut,  dan pencemaran sungai  oleh PETI.

"Rencana penyusunan modul akan dilakukan selama  tiga bulan ke depan, dengan tahapan FGD yang sudah dilakukan,  bersama dengan akademisi dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran  Kuansing, penyusunan modul, uji coba modul, dan tahap akhir adalah finalisasi modul," katanya. 

Diharapkan modul siap digunakan pada periode ajar mengajar  Juni 2021, selanjutnya  menjadi bahan belajar  dalam pembelajaran mengarusutamakan isu pembangunan berkelanjutan, guna membekali peserta didik dengan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai ke dalam kehidupan sosial, lingkungan dan tantangan ekonomi.

Kepala  Dinas Pendidikan Kuantan Singingi  Masrul Hakim menyambut baik upaya WWF Indonesia, sebab sedari dulu perhatian lingkungan di Kuansing sudah jadi sorotan. Namun baru kali ini ada yang hendak membuatkan modul pembelajaran tentang pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan.

"Jadi kami minta modul ini harus dijalankan, ke depan  oleh para guru, dan akan kita lanjutkan melatih para guru sehingga  bisa diaplikasikan,  sebab harus ada penguatan lagi, jangan  hanya  percontohan saja tetapi  akan disebar luaskan  ke 75 sekolah  SMP di Kuansing," kata Masrul Hakim.

Untuk kelanjutan program pendidikan ini lanjutnya, akan diupayakan pembuatan payung hukumnya. 

Diharapkan kurikulum yang dimaksud akan  tertuang pada mata pelajaran muatan lokal yang di dalamya ada  mata pelajaran Budaya Melayu Riau, seni budaya dan dan prakarya, 

"Kita akan coba cek regulasi di dinas akan diskusikan dengan kepala daerah rumusannya, kalau tidak perda, setidaknya  regulasi apa lagi sekarang sedang  proses menyusun perda pendidikan," katanya.


 

Pewarta : Vera Lusiana
Editor : Riski Maruto
Copyright © ANTARA 2025