Sumatera Selatan (ANTARA) - Rafflesia Arnoldii, puspa langka yang pertama kali ditemukan di Bengkulu pada abad ke-19 masehi ini ternyata tersebar dan tumbuh subur di hutan belantara Sumatera Selatan (Sumsel).

Pengendali Ekosistem Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel Wahid Nurrudin di Lahat, Jumat, mengatakan bunga yang juga dikenal bernama Padma Raksasa tersebut ditemukan tersebar di hutan hujan tropis dataran rendah perbatasan Kabupaten Lahat dan Muara Enim.

Penemuan perdana bunga parasit sejati berwarna merah besar tersebut dilakukan oleh tim konservasi BKSDA Sumsel pada Agustus 2019, mereka menemukan sembilan bunga di Suaka Margasatwa Isau-isau Kabupaten Lahat.

Dari penemuan tersebut, tim melakukan observasi selama satu bulan membuktikan apakah yang ditemukan tersebut adalah  Rafflesia Arnodii.

Baca juga: Bunga Rafflesia arnoldii bermekaran di Agam jelang akhir 2020

Setelah semua ciri yang ada pada tanaman tersebut dipastikan sama dengan rekap penelitian, pada Oktober 2021 keberadaan bunga tersebut resmi diumumkan.

“Kami pastikan yang ditemukan saat itu adalah Rafflesia Arnoldii, tanaman khas pulau Sumatera,” kata dia.

Menurutnya, Suaka Margasatwa Isau-isau yang luasnya mencapai 14 ribu hektare itu bukan menjadi satu-satunya tempat penyebaran Rafflesia Arnoldii, melainkan sejak saat ditemukan juga tumbuh menyebar secara sporadis di beberapa wilayah lain.

Tim konservasi menemukan beberapa individu lagi di hutan wilayah Desa Air Lingkar, Kecamatan Pagar Gunung, Kabupaten Lahat pada tahun 2019 dan hutan Desa Pagar Agung, Kecamatan Semende Darat Laut, Muara Enim tahun 2020.

Dari dua lokasi tersebut ditemukan 10-20 individu Rafflesia Arnoldii dalam fase knop (kuncup bunga) yang tumbuh pada satu hamparan. Lokasinya berjarak cukup jauh dari desa sekitar 1,5 sampai 2 jam berjalan kaki, sehingga kemungkinan masih banyak lagi yang tumbuh di sana.

“Setiap satu individu mekar terus layu nanti ada lagi untuk individu baru di lokasi tersebut. Seterusnya, begitu akan terus tumbuh. Saat ini mungkin ada 10-20 individu, bisa juga lebih dari itu,” ujarnya.

Baca juga: Rafflesia tuan-mudae mekar sempurna di Cagar Alam Maninjau, Agam

Proses Rafflesia tumbuh dan mekar berbeda dengan bunga pada umumnya, karena akan berlangsung mencapai satu tahun dalam fase tersebut.

Rafflesia merupakan tumbuhan parasit yang menempeli batang tumbuhan merambat bernama Liana dari genus Tetrastigma. Proses ini berlangsung sekitar dua sampai tiga bulan hingga akarnya menancap ke tanah dan tumbuh.

“Rafflesia tidak berbatang, akarnya akan menopang tubuh hingga menguncup dan mekar,” ujarnya.

Saat masuk pada fase knop rata-rata ukurannya akan mencapai 10 sampai 40 sentimeter dan 60 sentimeter pada ukuran tertentu, sekitar satu – tiga bulan Rafflesia akan mekar dengan ukuran mencapai 90 sentimeter hingga 1 meter.

“Selama ini mereka (Rafflesia) akan mekar secara bergantian, jarak mekar satu individu dengan yang lain jedanya berbulan-bulan. Setelah mekar terus layu dan mati fase ini berlangsung sekitar satu bulan,” jelasnya.

Sementara itu, TPHL BKSDA Sumsel Ferianto mengatakan karena kehidupan biologisnya yang panjang, Rafflesia termasuk dalam genus tumbuhan langka, sehingga harus dilindungi. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama semua pihak terkait, khususnya masyarakat.

Baca juga: Dua bunga Rafflesia Arnoldii dan Gadutensis mekar sempurna hanya empat hari

Baca juga: Empat habitat Rafflesia Bengkulu berpotensi objek ekowisata


Praktik perusakan masih menjadi permasalahan yang penyelesaiannya menjadi tantangan tersendiri. Sebab, dalam beberapa kesempatan ditemukan ada oknum yang berusaha mengambil dan memindahkannya dari dalam hutan untuk dimiliki.

Padahal, sosialisasi terus dilakukan, untuk menyampaikan Rafflesia ini tidak bisa dipindahkan dari hutan, sebab pasti akan mati.

“Semua harus tahu kalau bunga ini tidak bisa dipindahkan dari kawasan hutan. Sebab, pasti akan mati dan sia-sia kalau ada yang berniat mengambil atau memindahkannya untuk ditanam lagi. Jadi biarkanlah hidup liar di hutan,” tandasnya.

Pewarta: Muhammad Riezko Bima Elko
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021