euforia politik seharusnya menjadi momentum suka cita yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara, meski tetap dilakukan pengawasan melalui mekanisme yang telah ditentukan.
Mamuju (ANTARA) - Bupati Mamuju Provinsi Sulawesi Barat Habsi Wahid mengingatkan, pentingnya merajut kembali persatuan dengan melupakan segala perbedaan dan gesekan yang ditimbulkan dari dinamika sosial politik yang terjadi pascapemilu serentak.

"Hari Kebangkitan Nasional hendaknya menjadi momentum yang sangat tepat untuk kembali merajuk asa, menyatukan kembali segala perbedaan dan gesekan yang ditimbulkan dari dinamika sosial politik yang terjadi pascapemilu serentak," kata Habsi Wahid, pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Mamuju, Senin.

"Terlebih lagi bulan ini adalah bulan Ramadhan, bulan yang penuh ampunan dan magfirah sehingga saat ini adalah waktu yang sangat mustajab untuk benar-benar bangkit untuk bersatu," tambahnya.

Dinamika sosial politik yang begitu dinamis pascapemilihan umum lanjut Bupati, saat ini bermunculan ajakan untuk bersama-sama melakukan aksi menolak hasil pesta demokrasi dengan gerakan bertajuk "People Power”.

"Dari perspektif mereka yang ingin menyuarakan hal ini, tentu menilai upaya tersebut adalah sesuatu yang positif dan harus diperjuangkan," ujarnya.

"Namun dari kacamata yang lebih luas, aksi ini sangat berpotensi merugikan orang banyak disebabkan dampak yang akan ditimbulkan. Sebut saja dari aspek keamanan dan ketertiban, tentu aksi ini dapat mempengaruhi rasa aman dan kenyamanan orang lain," terang Habsi Wahid.

Menururnya, euforia politik seharusnya menjadi momentum suka cita yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara, meski tetap dilakukan pengawasan melalui mekanisme yang telah ditentukan.

"Pesta demokrasi baiknya bukan justru mengabadikan perbedaan yang terjadi saat suksesi dijalankan, namun menjadi pemanis di tengah kerasnya perjuangan menarik simpati masyarakat," papar Habsi Wahid.

Bupati Mamuju itu kemudian menceritakan sejarah ketika presiden pertama Republik Indonesia Soekarno menawarkan Pancasila yang berazaskan lima asas saat berpidato dihadapan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Bapak Proklamator Republik Indonesia juga tambahnya, mengurai jika nilai-nilai Pancasila itu dikerucutkan ke dalam tiga sila atau bahkan satu sila tunggal maka akan ditemukan satu inti atau "Core of the core".

"Kata Bung Karno, jika kuperas yang lima ini menjadi satu maka dapatlah aku satu perkataan yang tulen yaitu gotong royong, kata yang digambarkan sebagai kerja bersama, banting tulang bersama, dan amal semua buat kepentingan semua, itulah inti dari perkataan Bung Karno," ujar Habsi Wahid.

Jika ditransformasi ke momentum saat ini menurut Habsi Wahid, maka semangat gotong-royong tentu tidak akan kedaluarsa dan masih menjadi cikal-bakal lahirnya persatuan dan kesatuan.

"Namun demikian, hegemoni kehidupan sosial yang semakin meningkat memunculkan sebuah pertanyaan, apakah gotong royong juga dapat dilakukan untuk mendorong keinginan bersama segelintir orang yang dapat saja mengorbankan kepentingan orang yang lebih banyak," ucapnya.

"Jawabannya tentu tidak, karena semangat gotong-royong lahir dari embrio positif yang tentu bertujuan untuk meraih kemaslahatan secara universal, sehingga bekerjasama yang dampaknya dapat merugikan orang lain tentu bukanlah gotong-royong, bahkan dalam kajian agama tolong-menolong harusnya dapat dilakukan dalam hal kebaikan," jelas Habsi Wahid.

Baca juga: FPPI Mamuju ajak bangun Indonesia

Baca juga: Polres Mamuju Utara operasi K2YD jaga Ramadhan

 

Pewarta: Amirullah
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019