Jakarta (ANTARA) - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengusulkan ada 224 lokasi yang menjadi prioritas terhadap pelaksanaan reforma agraria, termasuk penyelesaian konflik agraria yang harus dituntaskan oleh pemerintah.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan pihaknya bersama serikat petani dan organisasi masyarakata adat telah menyerahkan data-data Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) tersebut dalam kurun waktu empat tahun.

"Ada 224 lokasi prioritas reforma agraria yang masih menunggu untuk segera direalsasikan, termasuk diselesaikan konflik agrarianya. Ini sudah masuk selama empat tahun ke pemerintahan, tetapi tak kunjung diselesaikan," kata Dewi usai mengajukan laporan ke Kantor Ombudsman RI Jakarta, Senin (4/3).

Dewi merinci 224 lokasi prioritas tersebut terdiri dari lokasi dalam Hak Guna Usaha (HGU) milik BUMN di 131 lokasi seluas 288.431 hektare dan 93 lokasi (93 desa) seluas 123.034 dalam HGU perusahaan swasta.

Adapun Pemerintahan Jokowi-JK menargetkan program 9 juta hektare (ha) program reforma agraria yang telah dicanangkan melalui 400.000 ha redistribusi tanah dari HGU expired dan diterlantarkan perusahaan; 4,1 juta ha redistribusi tanah dari pelepasan klaim kawasan hutan; 3,9 juta hektar legalisasi aset; dan 600.000 ha legalisasi tanah-tanah transmigrasi yang belum disertifikatkan.

Hasilnya, dari 400.000 ha target redistribusi tanah yang dicanangkan pemerintah, baru 270.237 ha yang terealisasi. Namun dalam catatan monitoring KPA, baru 785 ha yang diredistribusikan sesuai dengan tujuan dan prinsip reforma agraria, yakni Desa Mangkit di Sulawesi Utara, Desa Pamegatan dan Pasawahan di Jawa Barat dan Desa Tumbrek di Jawa Tengah.

Desa-desa ini adalah wilayah konflik agraria masyarakat dengan HGU swasta, di mana penerima manfaatnya betul-betul petani dan masyarakat kecil di pedesaan, yang selama puluhan tahun mengalami ketidakadilan dan telah memperjuangkan haknya atas tanah ke berbagai kementerian.

Menurut Dewi, reforma agraria yang dilakukan pemerintah selama empat tahun ini masih sebatas sertifikasi tanah yang tidak bermasalah atau "clean and clear". Sertifikasi ini memang penting sebagai kekuatan hukum, namun sertifikasi sudah menjadi hak bagi warga negara yang sudah memiliki tanah.

Namun demikian, reforma agraria belum memberikan keadilan bagi mayoritas penduduk, seperti petani, nelayan, masyarakat adat yang mengalami konflik agraria. Penyebab utama tingginya angka konflik agraria disebabkan pemberian izin-izin konsesi skala besar tersebut kepada perusahan-perusahaan negara maupun swasta.

Salah satu tujuan pokok reforma agraria adalah menyelesaikan konflik agraria yang bukan saja persoalan sengketa tanah biasa, melainkan situasi yang merupakan warisan masa lalu atau pun kebijakan pemerintahan saat ini.

"Reforma agraria seharusnya diprioritaskan bagi petani, nelayan tradisional, masyarakat adat yang selama ini mengalami ketidakadilan dan konflik berkepanjangan," kata Dewi.


Baca juga: WALHI percaya Jokowi mampu menyelesaikan konflik agraria
Baca juga: Ombudsman: reforma agraria belum mampu selesaikan konflik lapangan
Baca juga: HuMa: masyarakat adat masih jadi korban konflik SDA, agraria

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019