Jakarta,  (ANTARA News) - Pakar ekologi dan evolusi Krakatau dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Tukirin menjelaskan timbunan material vulkanik Gunung Anak Krakatau (GAK) di bagian atas dan dinding yang terjal di bagian bawah gunung mempermudah terjadinya longsor.

Tukirin saat dihubungi di Jakarta, Minggu, sependapat dengan yang dikemukakan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa adanya longsor di tebing bawah laut menyebabkan tsunami kecil yang terjadi di Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam.

Tukirin sebagai ahli yang mempelajari perkembangan kehidupan Gunung Anak Krakatau menjelaskan bahwa gunung yang terus tumbuh itu menimbun material vulkanik di bagian atas sehingga menyebabkan dinding yang terjal di bagian bawah gunung.

Tebing bawah laut yang semakin terjal di bagian bawah Gunung Anak Krakatau bisa mengalami longsor apabila ada getaran kuat akibat aktivitas vulkanik, yang bisa juga ditambah dengan hempasan gelombang arus laut.

"Saya punya pengalaman sedang di darat, di Gunung Anak Krakatau, kemudian terjadi getaran karena aktivitas vulkanik, getaran saja. Itu dinding Anak Krakatau yang setinggi 400 meter itu longsor sampai ke bawah. Tapi tidak menimbulkan tsunami, karena itu kan di darat," terang dia.

Menurut Tukirin, tsunami yang terjadi hanya karena longsoran tebing bawah laut biasanya tidak menimbulkan gelombang yang besar. Namun, tingginya gelombang tsunami juga dipengaruhi oleh seberapa besar material yang runtuh.

Tsunami yang terjadi di Selat Sunda juga dipengaruhi dari kondisi pasang air laut yang disebabkan oleh gravitasi bulan saat terjadi purnama.

"Mungkin di samping getaran itu juga ada pasang laut perbani pada bulan purnama. Sehingga air laut naik, ditambah itu (longsoran), terjadilah gelombang yang cukup besar," kata dia. 

Baca juga: PVMBG belum bisa pastikan tsunami akibat Anak Krakatau
Baca juga: Korban tsunami Selat Sunda bertambah jadi 62 meninggal

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018