sudah puluhan kepala daerah bupati atau wali kota yang diseret ke sel komisi antirasuah ini.
Jakarta (ANTARA News) - Walaupun tahun 2018 sudah berada di ujung akhirnya, ternyata masih saja ada kepala daerah yang nekat untuk tega "memakan" uang rakyatnya sendiri dan giliran Bupati Pakpak Bharat, Sumatera Utara yang bernama Remigo Yolanda Berutu ditangkap KPK.

Nama Kabupaten Pakpak Bharat ini jarang sekali muncul ke permukaan jika dibandingkan dengan daerah-daerah tingkat dua lainnya di Provinsi Sumatera Utara seperti Mandailing Natal, Deli Serdang hingga Kepulauan Samosir.

Sekalinya muncul kabar tentang Pakpak Bharat, beritanya adalah soal korupsi yang sedikitnya bernilai Rp550 juta yang "dimakan"  Bupati Remigo.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bberapa hari lalu membekuk "pemakan" uang rakyat ini setelah mengumpulkan cukup bukti dugaan penerimaan uang haram yang nilainya kurang lebih Rp550 juta dari sejumlah pengusaha yang dimuluskan meraih beberapa proyek pembangunan.

Ketua KPK Agus Raharjo telah memberikan penjelasan kepada wartawan bahwa Bupati Remigo beralasan "mencari" uang tambahan antara lain karena ada anggota keluarganya yang sedang menghadapi masalah hukum di Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

Dengan munculnya kasus teranyar ini maka sudah puluhan kepala daerah bupati atau wali kota yang diseret ke sel komisi antirasuah ini.

Sebelumnya, Bupati Bekasi, Jawa Barat Neneng Yasin juga diciduk KPK karena diduga keras "makan uang" miliaran rupiah dari perusahaan raksasa Lippo Group yang sedang membangun proyek prestisius bernama Meikarta properti mulai dari apartemen, pusat perbelanjaan hingga rumah mewah.

Selama tahun ini saja, masyarakat di Tanah Air sudah menyaksikan Gubernur Jambi Zumi Zola turun dari singgasananya karena telah ditemukan bukti-bukti yang amat kentara bahwa bekas aktor ini sudah memiliki hobi "makan" uang rakyat yang jumlahnya miliaran rupiah, padahal ia baru sekitar dua tahun menjadi kepala daerah di Provinsi Jambi.

Belum lama pula gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho juga  diseret KPK ke meja hijau karena telah terbukti mengajak kongsi dengan hampir semua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) untuk melakukan "korupsi ria".

Gatot telah terbukti menyogok para wakil rakyat yang "amat terhormat" itu sehingga akhirnya hampir semua anggota DPRD Sumatera Utara "hilang dari peredaran".

Kasus lainnya juga menimpa Rita Widyasari, saat bupati Kutai Kartanegara. Kalimantan Timur ini telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi yang lagi-lagi nilainya miliaran rupiah.

KPK tentu bisa setiap saat bercerita tentang puluhan gubernur, bupati serta wali kota yang terpaksa harus turun dari kursi empuknya yang telah diperoleh sebelumnya dengan mengeluarkan biaya miliaran rupiah.

Kementerian Dalam Negeri pernah mengeluarkan data yang mengejutkan bahwa untuk menduduki kursi bupati, wali kota hingga gubernur diperlukan dana mulai dari Rp30 miliar hingga Rp50 miliar.

Kalau seorang warga telah berhasil terpilih menjadi gubernur, wali kota ataupun bupati maka hampir bisa dipastikan bahwa yang ada di otaknya adalah mencari jalan untuk mengembalikan dana miliaran rupiah yang telah dikeluarkannya itu dan kemudian menemukan cara supaya ada "sedikit keuntungan atau laba" dari masa jabatan selama lima tahun itu atau mudah-mudahan sampai 10 tahun.

Bermanfaatkah pakta integritas?

Kementerian Dalam Negeri yang dahulu bernama Departemen Dalam Negeri pasti sudah amat menyadari munculnya peluang demi peluang bagi gubernur, wali kota, bupati hingga jajaran di bawahnya untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Nilai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang lebih dari Rp2000 triliun setiap tahunnya ditambah dengan APBD-APBD yang ratusan miliaran rupiah sangat membuka peluang bagi para pejabat daerah untuk mencuri uang rakyat dan negara.

Salah satu peluang yang paling diincar adalah dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta jajaran di bawahnya karena mereka mempunyai tugas berat  membangun jalan, jembatan, bendungan, gedung pemerintahan yang nilainya puluhan hingga ratusan miliar rupiah.

Karena amat besarnya peluang untuk "makan" uang rakyat itu, maka sejak beberapa tahun lalu Kementerian Dalam Negeri  mewajibkan setiap wali kota, gubernur serta bupati yang baru terpilih dan kemudian dilantik untuk menandatangani sebuah perjanjian yang lazim disebut pakta integritas.

Janji itu pada dasarnya mengingatkan bahwa para pejabat itu adalah abdi rakyat sehingga mereka sama sekali tidak patut untuk melakukan tindak pidana korupsi, menerima sogokan atau istilah kerennya gratifikasi serta semua bentuk kejahatan lainnya.

Akan tetapi ternyata di lain pihak, rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia ini harus tetap melihat kenyataan yang amat pahit dan menyakitkan  bahwa korupsi terus saja terjadi di kalangan bupati, gubernur hingga wali kota.

Sekalipun sudah begitu banyak contoh yang tak bisa dibantah "jejak" para pendahulunya itu  yang diseret ke sel tahanan, tetap saja muncul narapidana-narapidana baru. Beberapa bulan lalu, di Tanah Air baru saja dilakukan pemilihan kepala daerah dan dijadwalkan akan terjadi lagi pilkada massal pada tahun 2019.

Tentu rakyat masih ingat bahwa Setya novanto saja yang pernah menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat bisa diseret KPK karena terbukti melakukan korupsi sehingga harus dihukum 15 tahun penjara. Kemudian Idrus Marham yang sempat menjadi menteri sosial pun diseret ke sel karena saat menjadi anggota DPR dan juga merangkap Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar banyak bukti yang menunjukkan ia terbukti terlibat dalam kasus pembangunan PLTU Riau I.

Menilik ada puluhan kepala daerah yang pada tahun 2018 ini diseret ke pengadilan atau sebentar lagi akan mengalami nasib yang sama masuk bui akibat dakwaan KPK, maka sudah amat wajar jika Kementerian Dalam Negeri mengkaji secara  mendalam apakah pakta integritas yang sekarang ini sudah memadai untuk mencegah korupsi, gratifikasi atau apa pun namanya, ataukah tidak?

Kalau dianggap sudah cukup, mengapa masih saja terjadi tindak kejahatan sejenis?

Karena itu, bila belum cukup keras maka Kemendagri tentu berhak mencari jalan agar peluang korupsi itu 99,99 persen sudah tertutup rapat.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo harus melihat bahwa rakyat Indonesia mempunyai keinginan yang amat sederhana yakni korupsi dapat dibasmi sehingga uang negara dapat dinikmati secara merata oleh rakyat untuk dapat hidup secukupnya memenuhi pangan, sandang dan papan.

 Baca juga: KPK tetapkan Bupati Pakpak Bharat tersangka
Baca juga: KPK ciduk bupati Pakpak Bharat


 

Pewarta: Arnaz F. Firman
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018