Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan politisasi film Pengkhianatan G30S/PKI harus dihentikan, baik oleh elit politik maupun TNI.

"Pilihan untuk menonton bareng atau tidak film tersebut adalah hak setiap warga. TNI seharusnya tidak dipaksa mengambil tindakan yang rawan disalahgunakan oleh kelompok elit politik tertentu," kata Usman Hamid dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Jumat.
 
Menurut dia, mempersoalkan sikap Panglima TNI dan KSAD dengan kesan seolah-olah takut dan membuat prajurit menjadi penakut jika tidak memerintahkan nonton bareng film G30S/PKI adalah upaya politisasi TNI. 

Bahkan, semasa Panglima TNI Gatot Nurmantyo ada kelompok masyarakat yang terpengaruh oleh isu ini sehingga terlibat aksi penyerangan dan perusakan kantor Yayasan LBH Indonesia. 

"Ini adalah intimidasi terhadap pembela HAM," kata Usman. 

Pada era Presiden BJ Habibie, Mendikbud Juwono Sudarsono membentuk tim khusus untuk meninjau ulang seluruh buku sejarah dalam versi G30S/PKI. 

Menteri Penerangan Letnan Jenderal (Purn) Yunus Yosfiah pun mengakhiri keharusan pemutaran tahunan film "Pengkhianatan G30S/PKI" yang diproduksi tahun 1981 itu.

"Ini adalah bukti bahwa sejarah peristiwa 30 September 1965 ditinjau ulang dan direvisi oleh pemerintah," kata Usman.

Jadi, kata Usman, adalah hak setiap orang apakah mau menonton film G30S/PKI atau merujuk film dan literatur lainnya.

Ia pun merujuk survei nasional SMRC 2017 dan 2018 yang menemukan bahwa mayoritas warga, 86 persen, tidak setuju bahwa PKI sedang bangkit. Yang setuju hanya 12 persen.

"Jadi, sebenarnya isu anti-PKI ini kecil, tapi dibesar-besarkan untuk membela kepentingan elit-elit yang membesar-besarkannya, menyudutkan korban dan penyinta 1965, bahkan membungkam aksi aktivis, dosen, dan petani yang tengah memperjuangkan hak-hak dasar mereka," kata Usman.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018