Cianjur (ANTARA) - Gempa dengan magnitudo 5.6 yang mengguncang Cianjur, Jawa Barat, membuat seratus ribu lebih warga mengungsi karena rumah mereka rusak, lebih dari 200 titik tenda pengungsian dibangun pemerintah dan organisasi kemanusiaan untuk tempat mereka tinggal sementara yang aman dari gempa.

Gempa terparah di 16 desa di Kecamatan Cugenang, dan satu desa di Kecamatan Cianjur, membuat seluruh mata mengarah ke kabupaten itu. Apalagi gempa itu telah menelan korban jiwa 327 orang, yang sebagian besar wanita dan anak-anak, yang tertimpa bangunan rumah ambruk.

Proses penanganan bersama gempa Cianjur melibatkan 6.000 lebih relawan yang terdiri dari Basarnas, BPNP, BPBD, TNI/Polri, organisasi kemanusiaan dan relawan dari berbagai kelompok dari luar Cianjur. Para relawan itu juga memfokuskan pencarian korban tertimbun longsor di Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, yang dilaporkan lebih dari 30 orang.

Hingga satu pekan setelah gempa, petugas masih melakukan pencarian di bawah ancaman gempa dan longsor yang beberapa kali terjadi di lokasi puluhan warga dilaporkan tertimbun bersama dengan kendaraannya. Upaya selama satu pekan terakhir petugas berhasil menemukan sekitar 13 orang yang tertimbun di longsor di Cijedil.

Sementara petugas gabungan lainnya memfokuskan pendirian posko pengungsian terpusat di desa-desa terdampak karena rumahnya rusak dan tidak berani pulang. Masih terjadi 276 kali gempa susulan, hingga satu pekan setelah gempa pertama.

Sebanyak 100.330 jiwa yang biasa tinggal di rumah dengan suasana nyaman tanpa terpaan angin kencang dan derasnya hujan saat malam hari, terpaksa mengisi tenda pengungsian berdesakan dengan warga lainnya. Meski pemerintah sudah mengeluarkan peringatan situasi aman bagi warga untuk pulang ke rumah, namun mereka memilih bertahan di pengungsian.

Tidak hanya warga yang rumahnya rusak, warga yang tinggal di perumahan dan perkampungan yang rumahnya hanya mengalami retak, memilih tenda sebagai tempat berlindung, terutama saat malam tiba. Meski tidak senyaman beristirahat di dalam kamar atau rumah, tenda menjadi tempat yang aman dari dampak gempa.

"Kami memilih tidur di tenda malam hari di luar rumah cukup aman kalau sampai gempa membuat rumah kembali terancam ambruk atau atap jebol. Dari 77 kepala keluarga blok kami memilih tenda sebagai tempat aman," kata Vicki, warga Perumahan Pesona Cianjur Indah.

Sebagian besar warga Cianjur, tidak hanya di lokasi terparah akibat gempa, memilih mendirikan tenda di halaman rumah atau di tengah jalan perkampungan atau perumahan karena ratusan kali gempa susulan membuat mereka merasa tidak aman berada di dalam rumah.

Ribuan tenda dari terpal menghiasi sebagian besar perkampungan di wilayah kota dan kecamatan terdampak, seperti Warungkondang, Cilaku, Karangtengah, Cipanas, Pacet dan kecamatan lain di bagian selatan. Tenda dadakan yang dibangun di tempat terbuka menjadi tempat paling aman saat ini di Cianjur.

Bupati Cianjur Herman Suherman meminta warga yang hendak kembali ke rumah tetap meningkatkan kewaspadaan dan segera menyelamatkan diri saat gempa susulan kembali terjadi, namun sebagian besar warga memilih bertahan di pengungsian.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut aktivitas gempa bumi di wilayah Cianjur, terus melemah, sehingga warga sudah dapat kembali ke rumah masing-masing, dengan catatan kondisi bangunan rumahnya tidak mengalami kerusakan struktur.

Herman menjelaskan, BMKG dalam rilis-nya menyatakan hasil monitoring yang dilakukan selama 7 hari terakhir menunjukkan aktivitas gempa bumi susulan magnitudo-nya secara fluktuatif semakin mengecil, sehingga frekuensi kejadiannya semakin jarang.

Namun surat yang dikeluarkan BMKG belum bisa mengobati traumatik yang dirasakan warga korban gempa yang memilih bertahan di pengungsian dengan harapan gempa susulan tidak lagi terjadi dan mereka dapat menjalani hidup normal layaknya sebelum bencana.

Duka mendalam yang mereka rasakan kehilangan anggota keluarga, rindu rumah bercampur dengan rasa takut gempa susulan kembali terjadi dapat merobohkan rumah mereka yang mengalami rusak sedang atau ringan, membuat niat mereka untuk kembali pulang diurungkan dan memilih bertahan di pengungsian.

"Saya tidak hanya kehilangan rumah, tapi anak, cucu dan menantu meninggal tertimpa rumah yang ambruk. Saya tidak tahu mau pulang kemana, kalau mendapat bantuan saya akan pindah ke luar kota karena berat untuk tinggal lagi di rumah yang sudah saya tempati sejak kecil," kata Yati (61), warga Kampung Pos, Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang.

Yati menjelaskan, selama tinggal di kampung tersebut, dia dan seribuan orang lainnya baru merasakan gempa bumi besar yang meratakan 500 lebih rumah yang ada dan menelan korban jiwa lebih dari 70 orang tertimbun di dalam rumah yang mereka tempati sejak puluhan tahun terakhir.


Relokasi

Porak-porandanya bangunan rumah di 16 desa di Kecamatan Cugenang dan satu desa di Kecamatan Cianjur, membuat warga berharap dapat hidup aman dan tenang di perkampungan baru atau lahan relokasi yang disediakan pemerintah karena mereka tidak berani untuk tinggal di perkampungan yang tercatat sebagai pusat gempa.

Meski berat menjalani hari di posko pengungsian, warga korban gempa dari berbagai desa di Kecamatan Cugenang mencoba kuat untuk bertahan karena gempa susulan masih sering terjadi hingga hari ke 10 pascagempa besar yang membuat mereka menjadi pengungsi di tenda-tenda darurat.

Meski ada yang menolak untuk direlokasi dengan berbagai alasan, namun lebih banyak yang sepakat dengan keputusan pemerintah karena rumah mereka ambruk dan tidak lagi berani menempati perkampungan yang setiap hari setelah gempa besar kerap di guncang gempa susulan.

Rumah yang selama puluhan tahun dan turun temurun dari orang tua hingga ke cucu yang mereka tempati harus mereka relakan untuk menjalani kehidupan baru di perkampungan yang akan dibangun pemerintah. Mereka tidak ingin berlama-lama tinggal di dalam tenda dan larut dalam kesedihan karena kehilangan anggota keluarga.

"Kami hanya ingin hidup tenang dan kembali berjalan normal, meski saya harus kehilangan anak dan istri, saya ingin membesarkan dua orang anak saya yang masih hidup meski sempat tertimpa bangunan. Kalau memang harus pindah atau direlokasi saya berharap bisa menjalani semuanya," kata Rudi (34), pengungsi di posko mandiri di Desa Benjod, Kecamatan Cugenang.

Relokasi menjadi pilihan yang berat dan ringan untuk dijalani karena mereka harus meninggalkan perkampungan yang sejak lahir hingga memiliki tiga orang anak telah mereka tempati. Namun relokasi menjadi harapan baru untuk melupakan kejadian pahit yang digariskan.

Rudi dan seribuan pengungsi yang terpaksa mengisi belasan tenda pengungsian yang didirikan di Desa Benjod, meminta relokasi tidak jauh dari kampung asal mereka karena selama ini mereka hidup dari pertanian yang diharapkan masih dapat digarap sekalipun mereka direlokasi.

Pemerintah Kabupaten Cianjur mencoba untuk mencarikan lahan relokasi agar seratusan ribu warga dapat kembali menjalani hidup dengan tenang dan aman dari gempa yang rencananya terdapat di tiga lokasi kecamatan, yakni Cilaku, Pacet dan Mande, dengan luas lahan beragam, mulai dai 2 hektare sampai 10 hektare.

Memasuki hari ke 10 setelah gempa, pemerintah daerah telah melakukan persiapan di Desa Sirnagalih, Kecamatan Cilaku, lahan seluas dua hektare itu, langsung diratakan untuk dijadikan rumah baru bagi warga korban gempa di Kecamatan Cugenang dengan prioritas warga dari empat desa, yakni Cijedil, Gasol, Benjod dan Sarampad.

Bupati Cianjur Herman Suherman menjelaskan proses pengadaan lahan relokasi telah disepakati bersama, termasuk dengan pemerintah pusat melalui BPNB, nantinya akan membangun rumah baru untuk 3.500 kepala keluarga yang sudah terverifikasi dan dilanjutkan dengan pembangunan di dua titik lainnya.

Pemkab Cianjur melakukan proses cepat agar warga korban gempa kembali bangkit dan dapat menjalani kehidupan normal seperti biasa. Berbagai pertimbangan telah dilakukan, termasuk studi kelayakan dijadikannya tiga lokasi relokasi untuk korban gempa di Kecamatan Cugenang.

Relokasi sejumlah desa di Kecamatan Cugenang lebih diutamakan karena lebih dari seribu rumah warga rusak berat dan ambruk sehingga rawan jika ditempati karena gempa susulan kerap terjadi meski dengan magnitudo lebih kecil.

Meski relokasi menjadi pilihan pemerintah untuk menjamin kehidupan 100 ribu lebih warga korban gempa lebih aman dan layak, namun harus dipastikan lokasinya tidak menjadi masalah baru karena salah satu lahan relokasi bersebelahan dengan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Pasirsembung.

Tidak hanya relokasi untuk mempercepat pemulihan pascagempa, juga harus dipikirkan bagaimana penghasilan mereka yang sebagian besar merupakan petani yang sehari-hari menggarap ladang dan sawah, sedangkan rencana lokasi terletak di lahan yang merupakan bekas perkebunan dan TPSA.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022