Jika seorang individu dihina oleh seseorang, yang dihina punya hak secara hukum untuk harkat dan martabatnya.
Jakarta (ANTARA) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bukan membatasi kritik, melainkan penegas batas masyarakat sebagai bangsa yang beradab.

"Setiap orang memiliki hak hukum untuk melindungi harkat dan martabatnya," kata Menkumham Yasonna melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Jika seorang individu dihina oleh seseorang, kata dia, yang dihina punya hak secara hukum untuk harkat dan martabatnya.

"Bukan sebagai pejabat publik. Saya selalu mengatakan kalau saya dikritik Menkumham tak becus, misalnya mengurus lapas atau imigrasi, tidak masalah dengan saya. Akan tetpi, kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya, contoh saya dikatakan anak haram jadah, tidak bisa itu," ujarnya.

Oleh karena itu, sebagai bangsa yang beradab perlu ada batasan-batasan yang harus dijaga oleh setiap orang. Pasal penghinaan presiden/wapres yang diatur dalam RKUHP tersebut sama sekali tak berniat membatasi kritik.

Ia menekankan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia membuka ruang atas kritik dari masyarakat.

Baca juga: Anggota DPR sarankan pasal penghinaan presiden jadi ranah perdata

"Bukan berarti mengkritik presiden salah. Kritiklah kebijakannya dengan sehebat-hebatnya kritik, tidak apa-apa. Bila perlu, kalau tidak puas, mekanisme konstitusional juga tersedia," kata Yasonna.

Sebagaimana diketahui, belakangan draf RUU KUHP menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat akibat keberadaan pasal penghinaan presiden/wapres. Hal ini tertuang dalam BAB II tindak pidana terhadap martabat presiden/wapres bagian kedua penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wapres.

Dalam Pasal 218 Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden/wapres dipidana paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Sementara itu, Pasal 219 berbunyi setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wapres.

Hal itu dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Sebelumnya, Menkumham Yasonna menegaskan bahwa pasal penghinaan presiden/wapres dalam RKUHP berbeda dengan pasal sejenis yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Perbedaannya pasal itu menjadi delik aduan.

Baca juga: Menkumham: Pasal penghinaan terhadap presiden jadi delik aduan

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021