Denpasar (ANTARA) - Seniman Bali sekaligus akademisi Mangku Nyoman Ardika menyoroti fenomena maraknya penari Rangda yang terkesan kebablasan dalam membawakan salah satu tarian Bali yang kental dengan nilai kesakralan itu.

"Tentu tidak ada yang melarang belajar tari Rangda, tetapi harus diperhatikan tarian yang dibawakan itu hanya sebagai tontonan atau hiburan atau dalam konteks rohani ketika menjadi rangkaian prosesi ritual di pura," kata seniman yang akrab dipanggil Sengap itu terkait rencana pelaksanaan webinar bertajuk "Pewaris Adat Bali, Sasana Tari Rangda" di Denpasar, Kamis.

Sengap akan menjadi satu diantara tiga pembicara yang akan dihadirkan pada webinar yang dilaksanakan Sabtu (6/3). Selain Sengap, dua pembicara lainnya, yakni Dr I Komang Indra Wirawan (dosen Universitas Mahadewa Indonesia) dan Mangku Kadek Serongga (seniman).

Baca juga: "Barong dan Rangda" Diminati Wisatawan Jepang

Baca juga: "Leak" (Kajang Kliwon) film horor pertama berlatar budaya Bali


Menurut Sengap, kini para seniman muda dengan berbekal tutorial tari Rangda di YouTube dan sedikit mempelajari lontar, seringkali merasa sudah pantas untuk membawakan tari Rangda dalam ranah rohani atau ritual, demikian juga banyak bermunculan sanggar seni yang mengajarkan tari tersebut.

"Seorang penari Rangda pada ranah ritual, sudah dikategorikan sebagai pemangku. Kalau belum melaksanakan 'pawintenan saraswati', belum boleh belajar aksara, lebih baik jangan lakukan," ucap seniman yang kerap membawakan tari Rangda dan tarian sakral itu.

Namun, fenomena saat ini banyak penari Rangda yang asal menggunakan "tapel" Rangda dan menari, sehingga kebablasan. Bahkan, muncul istilah penari Rangda baru kepus pungsed (baru lepas tali pusar), karena masih belum cukup umur sudah membawakan tari Rangda.

Terkait siapa yang boleh memiliki Rangda, lanjut dia, kalau untuk seni pergunakanlah untuk seni, jangan dipakai ritual.

"Sekarang banyak yang memiliki Rangda, melakukan (ritual) Napak Pertiwi. Napak Pertiwi dilakukan jika mempunyai pertigaan atau perempatan. Makanya kalau pementasan Calonarang murni, setelah menari di kalangan (arena pementasan), Rangda akan menuju ke perempatan atau setra (kuburan)," katanya.

Melalui pelaksanaan webinar, lanjut Sengap, tidak untuk menghakimi ini benar dan itu salah, tetapi untuk bersama-sama melihat bahwa kesenian tersebut tidak saja dilihat dari sisi estetika, namun juga etika.

Agar tidak sampai terjadi "kecelakaan" atau musibah saat menari Rangda, kata Sengap, sebelum membawakan tari tersebut tentu didahului dengan berdoa, mendoakan semua yang terlibat pementasan agar selamat, ikuti rel atau rambu-rambu tarian itu dengan benar dan berserah kepada Tuhan.

Sementara itu, Putu Eka Mahardika, salah satu penari Rangda dalam konteks ritual menambahkan, saat menari yang harus diperhatikan dan dihormati juga kekhususan di tiap-tiap wilayah.

Baca juga: Susilo Badar dipercaya latih akting pemain film "Rangda"

Terkait dengan fenomena maraknya penari-penari yang belum cukup umur, berpengaruh juga menjadi sastra yang dipelajari tidak sesuai. Bahkan, dari berbagai media juga dapat dibaca sejumlah peristiwa penari Rangda dari berbagai kabupaten/kota di Bali yang akhirnya tewas tertusuk keris ketika membawakan tari Rangda.

"Selayaknya kita harus tahu lampah lakunya. Banyak yang belajar tari Rangda di YouTube, tidak salah, tetapi kalau sudah masuk wilayah sakral tentu harus diperhatikan etikanya," ucapnya.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021