Jika dibandingkan UU Perlindungan Anak, hukumannya lebih berat daripada Qanun Jinayat.
Banda Aceh (ANTARA) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh meminta Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mencabut dua pasal dalam Qanun (Peraturan Daerah) Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat karena tidak memberikan efek jera terhadap pelaku.

Dua aturan itu, yakni Pasal 47 yang mengatur terkait dengan hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak maksimal 90 bulan penjara; Pasal 50 tentang hukuman bagi orang yang melakukan pemerkosaan terhadap anak dengan ancaman paling lama 200 bulan bui serta beberapa pasal subtansinya.

"Kami meminta dicabut saja dua pasal itu, lalu mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, lebih memberikan efek jera kepada pelaku," kata Direktur LBH Banda Aceh Syahrul di Banda Aceh, Sabtu.

Baca juga: Raker Komisi VIII soroti kekerasan terhadap anak

Menurut Syahrul, ketentuan yang diatur dalam UU Perlindungan Anak lebih membuat jera pelaku ketimbang Qanun Jinayat.

Dalam UU Perlindungan Anak, kata dia, jika pelakunya orang tua, tenaga pendidik, atau kerabat, bisa dihukum maksimal 20 tahun penjara.

Bahkan, belum terjadi pemerkosaan atau baru melakukan pelecehan seksual saja juga dapat dihukum 20 tahun penjara. Jika korbannya lebih dari satu orang, bisa dibui seumur hidup hingga hukuman mati.

"Pada Qanun Jinayat hanya 16 tahun maksimal, itu pun kalau memakai pasal pemerkosaan. Artinya, jika dibandingkan UU Perlindungan Anak itu lebih berat daripada Qanun Jinayat hukumannya," kata Syahrul.

Selain itu, kata Syahrul, Qanun Jinayat juga tidak mengakomodasi keadilan bagi anak korban kekerasan fisik maupun seksual. Misalnya, tanggung jawab memberikan pemulihan secara psikologis hingga kehidupan sosialnya.

Kasus pelecehan terhadap anak, lanjut dia, tidak saja dipandang dari sisi hukuman terhadap pelaku, tetapi juga harus dilihat bagaimana keadilan yang didapatkan anak.

Hal ini mengingat korban kekerasan itu akan dihakimi seumur hidup, bahkan terkadang harus berpindah lingkungan.

Baca juga: Tiga cara lindungi anak dari kekerasan

"Negara yang bertanggung jawab untuk itu, dan Qanun Jinayat tidak mengakomodasinya. Akan tetapi, UU Perlindungan Anak mengakomodasi hal itu," katanya.

Syahrul berpendapat bahwa tidak mungkin menggunakan dua pasal kekerasan terhadap anak dalam satu kasus.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong adanya revisi atau mencabut dua pasal dalam Qanun Jinayat.

"Undang-Undang Perlindungan aAnak kemudian menjadi acuan menyelesaikan kasus kekerasan seksual dan fisik terhadap anak di Aceh," katanya menandaskan.

Tidak hanya itu, lanjut Syahrul, Qanun Jinayat juga tidak mengatur restitusi (pemberian ganti rugi) untuk kasus pelecehan seksual, hanya pada kasus pemerkosaan saja.

Sementara itu, dalam UU Perlindungan Anak, mulai dari kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, hingga jenis tindak pidana lainnya terhadap anak itu semua diberikan jaminan restitusinya.

"Kita sepakat bahwa lex specialis (khusus) itu harus dijalankan dengan baik di Aceh untuk mengatur sendiri. Akan tetapi, jangan kebablasan seperti ini juga, kasihan anak-anak," katanya.

Baca juga: Kekerasan seksual terhadap anak sangat menghawatirkan

Oleh karena itu, LBH Banda Aceh menyambut baik wacana DPRA untuk menghukum berat pelaku kekerasan fisik maupun seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh.

"Harus dilakukan karena kejahatan terhadap anak masuk dalam kejahatan kemanusiaan atau kriminal serius. Hal ini mengingat dampaknya terhadap anak meluas dan dalam jangka waktu panjang," kata Syahrul.

Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020