Manokwari (ANTARA) - Sejumlah buruh bangunan di Manokwari, Papua Barat, menemukan ratusan amunisi artileri diduga peninggalan tentara pada perang dunia kedua.

Amunisi tersebut terkubur di dalam tanah dan saat ini sudah diamankan Markas Satbrimob Polda Papua Barat.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Barat, AKBP Mathias Krey di Manokwari, Senin, mengutarakan selain amunisi para pekerja bersama Tim Gegana juga menemukan detonator, selongsong serta proyektil.

"Secara keseluruhan amunisi 226 buah detonator 226 buah, selongsong sebanyak 10 buah dan proyektil ada 1. Semua sudah kami amankan agar tidak membahayakan warga, karena biasanya masih aktif," kata Krey.

Senjata sisa-sisa perang tersebut ditemukan di Kampung Mestip, Arfai Gunung, saat para pekerja melakukan penggalian untuk septic tank.

Pertama kali amunisi itu ditemukan oleh Dominus Weya bersama enam orang teman menggali septic tank di lokasi tersebut. Amunisi artileri itu berukuran panjang 56 cm serta diameter 2,5 inci.

Dari penemuan tersebut, seorang tukang Abdul Said berinisiatif menyampaikan informasi kepada polisi.

"Dari laporan itu, anggota Brimob dan Propam Polda dan Sabhara datang untuk mengamankan TKP. Selanjutnya tim Gegana pun tiba dilokasi," kata Kabid Humas.

Semula, lanjur Mathias, para pekerja bangunan ini hanya menemukan 59 buah. Saat Tim Gegana tiba, penggalian teruskan hingga memperoleh amunisi, detonator, selongsong serta proyektil yang mencapai ratusan.

"Penggalian sampai malam jam19.56 WIT Tim Gegana berhasil mengangkat amunisi artileri sebanyak 88 buah. Jam 21.29 WIT kembali melanjutkan penggalian dan pada 23.10 WIT Tim kembali mengangkat seluruh amunisi yang tertanam sekitar 79 buah bersama sejumlah detonator," sebutnya.

Baca juga: Perwira polisi serahkan diri ke Propam usai tabrak warga di Manokwari

Baca juga: Nelayan hilang di Manokwari ditemukan meninggal

Baca juga: Pengamanan sidang perkara pembakaran bendera di Manokwari dipertebal

Baca juga: Dana Pilkada Manokwari Selatan 2020 dibahas di Jakarta

Pewarta: Toyiban
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019