Bengkulu (ANTARA) - Penimbunan hutan mangrove atau bakau seluas 10 hektare di Kelurahan Teluk Sepang untuk kepentingan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di Kelurahan Teluk Sepang, Bengkulu telah menghilangkan pendapatan nelayan pinggir.

Hal ini terungkap dari persidangan gugatan warga atas izin lingkungan PT Tenaga Listrik Bengkulu pemilik proyek PLTU batu bara Teluk Sepang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bengkulu.

Aung yang merupakan nelayan pinggir yang setiap hari mencari kepiting di hamparan hutan mangrove di Kelurahan Teluk Sepang mengaku kehilangan mata pencaharian utama akibat proyek energi berbahan batu bara itu.

Baca juga: Warga khawatirkan pembangunan PLTU Batu bara di pantai Teluk Sepang

“Sejak bakau dihancurkan mata pencaharian kami juga hilang karena selama ini hutan bakau itu jadi tumpuan mencari kepiting,” kata Aung dalam sidang di PTUN Bengkulu, Selasa.

Ia mengatakan saat hutan bakau masih ada, dia bisa mendapat kepiting hingga 10 kilogram per hari. Dengan tiga tipe komoditas yaitu grade A, B dan C dengan harga berkisar Rp50 ribu hingga Rp150 ribu per kilogram, Aung mengatakan pendapatan dari mencari kepiting sangat membantu kehidupan keluarganya.

Ayah dua anak ini mengatakan sejak penghancuran bakau, beberapa nelayan pinggir lainnya yang kehilangan mata pencaharian terpaksa merantau meninggalkan Teluk Sepang.

Baca juga: Mahasiswa tuntut izin lingkungan PLTU Teluk Sepang dicabut

Sementara Aung saat ini berjualan sate keliling untuk memenuhi kebutuhan anak dan istrinya.

“Kalau dibandingkan pendapatan jualan sate keliling dengan mencari kepiting jauh lebih banyak dari mencari kepiting,” ucapnya.

Saksi fakta lainnya, Hamidin mengatakan hutan mangrove di pesisir Kelurahan Teluk Sepang selama ini dijaga dan dilindungi warga karena fungsinya sebagai sabuk hijau penahan gelombang tsunami.

“Kami bahkan sukarela menanam mangrove dan cemara di lokasi itu pada tahun 2006 karena daerah kami rawan gempa dan tsunami, tapi dengan mudah dihancurkan untuk PLTU,” kata Hamidin.

Baca juga: Nelayan Bengkulu minta pemda batalkan PLTU Teluk Sepang

Penghancuran hutan bakau di wilayah itu terjadi pada pertengahan tahun 2017 di mana aktivis lingkungan dari Komunitas Mangrove Bengkulu juga menyoroti tindakan pemerintah yang memberikan izin penghancuran hutan mangrove Teluk Sepang.

"Mangrove memiliki peran strategis untuk melindungi pesisir dari berbagai ancaman, sekaligus tempat memijah biota laut," kata Koordinator Komunitas Mangrove Bengkulu Riki Rahmansyah.

Ia mengatakan pemetaan yang dilakukan komunitas, luas hutan mangrove yang dibabat di pinggir kolam pelabuhan itu mencapai 10 hektare. Ekosistem mangrove lanjut dia, baik di areal konservasi maupun di area peruntukan lain seharusnya dilindungi karena fungsinya sangat esensial atau penting.

Sidang lanjutan gugatan izin lingkungan PLTU batu bara Teluk Sepang dipimpin Hakim Ketua Baherman, Hakim Anggota I Indah Tri Haryanti dan Hakim Anggota II Erick S Sihombing akan digelar pada Senin (28/10) dengan menghadirkan saksi fakta tambahan dan saksi ahli dari penggugat. 

Baca juga: Tuntut ganti rugi, petani menginap di PLTU Bengkulu
Baca juga: Aktivis : selamatkan terumbu karang dari limbah PLTU batu bara


Pewarta: Helti Marini S
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019