Kisah antara PT CPI, Kota Duri, dan warga tempatan (bag pertama)

id PT CPI, CPI, Chevron, muhammad yatim

Kisah antara PT CPI, Kota Duri, dan warga tempatan (bag pertama)

Muhammad Yatim. (ANTARA/HO-dok)

Pekanbaru (ANTARA) - Kota Duri adalah sebuah kota kecil di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Luasnya sekitar 937,47 kilometer persegi, atau sekitar setengah dari luas Kota Dumai. Duri berjarak sekitar 130 km dari Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau, dengan jumlah penduduknya sekitar 256 ribu jiwa.

Namun demikian, Duri memiliki peran penting di tingkat nasional. Kota ini menjadi salah satu penyumbang utama produksi minyak mentah nasional. Pendapatan negara dan daerah juga bertumpu pada kegiatan produksi minyak di Lapangan Duri, yang masuk Wilayah Kerja (WK) Rokan yang saat ini dikelola PTChevron Pacific Indonesia (PT CPI), atau dulu dikenal dengan nama Caltex.

Perkembangan Kota Duri khususnya, dan juga Kabupaten Bengkalis dan Provinsi Riau diawali dari penemuan minyak di kota tersebut. Tim dari Caltex berhasil menemukan minyak di Duri pada tahun 1941. Keberhasilan itu berlanjut dengan penemuan berikutnya, yakni Lapangan Minas, pada 1944. Dengan kapabilitas dan teknologi yang dikembangkan PT CPI, kedua lapangan tersebut terus berkembang dan konsisten menjadi tulang punggung produksi nasional.

Minyak yang dihasilkan Lapangan Duri dikenal dengan nama Duri Crude. Lapangan ini terus produktif hingga sekarang berkat penerapan teknologi injeksi uap (steam flood). Terobosan teknologi itu mampu memperpanjang usia Lapangan Duri dan menjaga tingkat produksi.

Perkembangan dan perekonomian masyarakat Kota Duri tak bisa lepas dari denyut kegiatan produksi minyak. Hingga akhirnya pada tahun 1950-an, mulai berdiri Sekolah Rakyat (SR).

"Saya masuk SR waktu berumur 23 tahun. Gurunya adalah orang Jawa yang dibawa Jepang dulu," kenang Muhammad Yatim seorang pemuka Suku Sakai di Desa Kesumbo Ampai, Kecamatan Bathin Solapan. Suku Sakai merupakan masyarakat adat tempatan yang hidup di pedalaman Riau. Suku ini sangat bergantung kepada alam dan sering dicirikan hidupnya berpindah-pindah di hutan meskipun sebagian dari mereka sudah menerapkan pertanian dan juga berladang.

"Sebagian besar murid Sekolah Rakyat itu adalah warga pendatang," imbuh Yatim yang kini berusia 83 tahun.

Lokasi sekolah tersebut, lanjut dia, sekarang menjadi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang terletak di dekat Kantor Camat Mandau. "Sekolah Rakyat itu berdiri kira-kira empat tahun setelah Caltex (PT CPI) masuk," kenang Yatim seperti yang pernah dilansir Riau Pos.

Setelah lulus SR, Yatim melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Waktu itu, hanya ada dua SMP swasta di Duri, yaitu SMP Setiawan (sekarang SMP Negeri 4) dan SMP Santo Yosef.

Seiring peningkatan kegiatan operasi PT CPI, kehadiran warga dari berbagai wilayah lain di Indonesia mulai berdatangan. Sebagian besar dari mereka ingin menjadi pegawai PT CPI dan sebagian lainnya datang untuk berdagang.

Mengenang Duri, tidak bisa dilepaskan dengan kearifan lokal masyarakat dan suku asli di daerah tersebut. Upaya pengembangan masyarakat oleh PT CPI terus dilakukan, salah satunya dengan mengangkat kearifan lokal suku Sakai hingga bisa tampil di berbagai iven di Jakarta, seperti tari lukah gilo dan lainnya. Masyarakat Sakai juga dibantu untuk hidup menetap dengan membuatkan rumah-rumah di pinggir jalan terutama yang ada sumber mata air atau sungainya.

Perkenalan Yatim dengan PT CPI bermula dari keikutsertaan masyarakat Sakai dalam Festival Seni Budaya Suku Asli se-Asia Pasifik di Pekanbaru pada 1991. Dari perkenalan itu, PT CPI kemudian membangun rumah adat Sakai dan membantu untuk memperkenalkan seni budaya Sakai kepada keluarga para karyawan PT CPI. Tak hanya itu, CPI juga memberikan beasiswa kepada anak-anak Sakai.

Dengan beasiswa dari PT CPI, lanjut Yatim, anak-anak Sakai saat ini sudah banyak yang mengecap pendidikan sampai ke perguruan tinggi dan duduk sejajar dengan suku-suku lain di Indonesia. Setidaknya, hampir 2.000 anak Sakai yang pernah mendapatkan beasiswa tersebut.

Pengembangan Pendidikan

Tingkat pendidikan masyarakat juga terus meningkat, termasuk warga Suku Sakai melalui berbagai program pengembangan masyarakat yang dijalankan PT CPI. "Perusahaan ini sangat perhatian terhadap upaya peningkatan sumber daya manusia (SDM). Pendidikan menjadi skala prioritas bagi mereka. Sudah sangat banyak anak-anak Sakai yang dibiayai pendidikannya oleh CPI hingga ke jenjang S2," ujar Muhammad Nasir, warga kelahiran Duri, yang juga Ketua Adat Sakai tersebut.

Dengan begitu, lanjut dia, anak-anak Sakai dapat duduk sejajar dengan suku-suku lain di Indonesia. Setidaknya, hampir 2.000 anak-anak Sakai yang pernah mendapatkan bantuan Pendidikan dari PT CPI. "Setelah tamat SMA atau universitas, kami sambut mereka kembali ke kampung dengan upacara upah-upah dan tepung tawar. Kami pasang foto-foto mereka di rumah adat Sakai," jelasnya bangga.

Warga Sakai saat ini sudah banyak yang mengembangkan diri di luar kampung halaman. Mereka menekuni berbagai bidang profesi maupun usaha. Sebagian lagi mengembangkan keahlian dan keterampilan mereka di kampung halaman melalui bidang pertanian dan peternakan. Masyarakat Sakai yang dulu dikenal banyak menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, sekarang lebih mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan di sekitar tempat tinggal mereka.

Program pemberdayaan masyarakat juga dilakukan dengan memberikan pelatihan guna meningkatkan keterampilan sehingga dapat menciptakan kemandirian. "PT CPI itu tidak hanya memberikan ilmu, tetapi juga memberikan peralatan dan modal untuk masyarakat. Memang dari program ini ada yang berhasil ada juga yang kurang, terutama bagi suku Sakai yang dari segi pendidikan masih jauh dibandingkan yang lain. Namun, PT CPI tetap memberikan keyakinan bahwasanya Sakai itu bisa mandiri dan mampu berkembang di semua sektor," katanya.