Kekerasan etnik sebabkan belasan juta orang di dunia tidak punya kewarganegaraan

id Berita hari ini, berita riau terkini,berita riau antara,kekerasan etnik

Kekerasan etnik sebabkan belasan juta orang di dunia tidak punya kewarganegaraan

Pengungsi Rohingya berkumpul untuk memperingati dua tahun eksodus di kamp Kutupalong di Cox Bazar, Bangladesh, Minggu (25/8/2019). (REUTERS/Rafiquar Rahman)

London (ANTARA) - Sebanyak 10 hingga 15 juta orang tidak diakui sebagai warga negara oleh negara mana pun, keadaan yang kerap membuat mereka kehilangan hak -hak mendasar --yang dianggap hal biasa oleh sebagian besar orang di dunia.

Mereka kehilangan dasar seperti pendidikan, layanan kesehatan, tempat tinggal dan pekerjaan.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan pengungsi pada Senin menggelar pertemuan akbar antar-pemerintah untuk menilai kemajuan kampanye #Ibelong (#Sayamilik).

Kampanye itu digelar dengan tujuan mengakhiri status tanpa kewarganegaraan pada 2024.

Berikut contoh-contoh penduduk yang tidak memiliki kewarganegaraan:

MYANMAR/BANGLADESH: Pada 1982, Myanmar --yang sebagian besar penduduknya beragama Buddha-- mengesahkan undang-undang kewarganegaraan yang secara efektif membuat sebagian besar penduduk Rohingya --suku Muslim dan keturunan Asia Selatan-- tidak memiliki kewarganegaraan.

Kekerasan etnik telah memaksa mereka pergi mengungsi, namun ratusan ribu di antara mereka masih tinggal di Myanmar. Ada sekitar 900.000 orang Rohingya mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh, dan sejumlah kecil lainnya di seluruh Asia.

Beberapa dari mereka terjerumus ke dalam perbudakan di kapal-kapal penangkap ikan dan perkebunan.

PANTAI GADING: Di Pantai Gading ada 690.000 orang yang tinggal tanpa kewarganegaraan. Banyak di antara mereka adalah turunan para migran dari negara-negara tetangga yang terdorong bekerja di perkebunan kopi dan kapas di Pantai Gading pada abad ke-20.

Sedikitnya 25 persen penduduk Pantai Gading diperkirakan merupakan keturunan warga asing. Pertanyaan soal siapa yang warga Pantai Gading dan siapa yang bukan telah ikut mengobarkan dua kali perang di negara Afrika Barat itu.

THAILAND: Hampir 479.000 orang tidak punya kewarganegaraan, termasuk anggota suku-suku di gunung seperti Yao, Hmong dan Karen yang tinggal di daerah perbatasan dengan Myanmar dan Laos, serta penduduk seminomaden "Pengembara Laut" di sepanjang pantai Andaman.

ESTONIA/LATVIA: Ketika Uni Soviet pecah, banyak anggota etnik Rusia masih berada di negara-negara Baltik baru dan ditetapkan sebagai "bukan warga negara".

Hampir 221.000 orang tanpa kewarganegaraan tinggal di Latvia dan 78.000 di Estonia. Kebanyakan adalah anggota etnik Rusia yang sulit mendapat kewarganegaraan dan kerap menghadapi diskriminasi.

SURIAH: Pada 1962, banyak orang Kurdi di bagian timur-laut Suriah dilucuti kewarganegaraan mereka. Human Rights Watch menggambarkan pelucutan itu sebagai bagian dari rencana "Arabisasi" kawasan yang kaya akan sumber daya tersebut.

Sebelum perang saudara, ada sekitar 300.000 orang Kurdi tinggal di Suriah tanpa kewarganegaraan. Banyak di antara mereka dijanjikan kewarganegaraan oleh Presiden Bashar al-Assad dalam menyikapi pemberontakan 2011.

Menurut data PBB, jumlah itu turun menjadi 160.000 orang, tapi sebagian karena banyak di antara mereka yang pergi mengungsi untuk menghindari perang.

Para pakar hak asasi manusia telah memperingatkan bahwa bayi-bayi yang dilahirkan para perempuan pengungsi Suriah di Lebanon dan Jordania bisa terancam tak memiliki kewarganegaraan.

KUWAIT: Orang-orang tanpa kewarganegaraan disebut Bidoon, kependekan dari "Bidoon Jinsiya", yang artinya dalam Bahasa Arab "tanpa kewarganegaraan". Menurut hasil pelacakan, sejumlah di antara mereka merupakan keturunan suku-suku nomaden, yang pada suatu waktu berpindah-pindah secara bebas di kawasan Teluk.

Ada sekitar 92.000 Bidoon di Kuwait, menurut data PBB. Namun, beberapa pihak memperkirakan bahwa jumlah itu lebih besar.

Orang-orang Bidoon kerap dihalangi untuk mendapatkan pendidikan gratis, layanan kesehatan dan banyak jenis pekerjaan.

NEPAL: Kendati Nepal mengatakan pihaknya tidak memiliki penduduk yang tanpa kewarganegaraan, para pakar masalah tanpa kewarganegaraan yakin banyak orang, kemungkinan ratusan ribu, terdampak.

Sebagian masalah berasal dari undang-undang yang melarang perempuan yang menikah dengan warga negara asing meneruskan kewarganegaraan mereka kepada anak-anaknya. Selain itu, ada orang-orang tanpa kewarganegaraan yang diusir dari Bhutan pada 1990-an.

REPUBLIK DOMINIKA: Putusan pengadilan pada 2013, bersama dengan perubahan-perubahan sebelumnya pada peraturan untuk menangkal perpindahan penduduk secara ilegal, telah membuat banyak orang tanpa kewarganegaraan. Sebagian besar dari mereka adalah turunan Haiti yang lahir di Republik Dominika.

Pada 2015, ada sekitar 134.000 orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, menurut data PBB, namun data tersebut sedang diperbarui.

IRAK: Ada sekitar 47.500 orang tanpa kewarganegaraan, termasuk Bidoon dan Kurdi Faili, kelompok suku yang menurut sejarah hidup di kedua sisi perbatasan Irak-Iran.

Kewarganegaraan lebih dari 100.000 orang Kurdi Faili dicabut pada 1980 di bawah rezim Ba'ath. Kendati banyak di antara mereka yang kewarganegaraannya dipulihkan, yang lainnya masih tidak punya kewarganegaraan.

EROPA: Puluhan ribu orang Roma, kelompok etnik yang berasal dari India, diperkirakan tinggal di Eropa Tengah, Timur dan Selatan tanpa memiliki kewarganegaraan. Setelah Cekoslowakia dan Yugoslavia pecah, negara-negara penerus menyatakan bahwa orang-orang tersebut bukan warga mereka.

Orang-orang lain Roma di Kosovo dan Bosnia menjadi tidak berkewarganegaraan karena masalah pengungsian pada masa perang.

Orang-orang Roma sering tidak bisa mendaftarkan kelahiran anak mereka atau memiliki properti secara resmi. Keadaan itu bisa membuat mereka kesulitan membuktikan dari mana mereka berasal.

VENEZUELA: Sejumlah anak yang lahir dari orang tua Venezuela, yang terpaksa meninggalkan negaranya ke negara-negara lain di tengah krisis politik dan ekonomi di dalam negeri, menghadapi risiko yang semakin besar untuk tidak memiliki kewarganegaraan.

Sumber: Thomson Reuters Foundation

Pewarta : Tia Mutiasari