Menjawab Propaganda Penghapusan Kementerian Agama

id Berita hari ini, berita riau terkini, berita riau antara

Menjawab  Propaganda Penghapusan Kementerian Agama

Penulis, Vethria Rahmi adalah Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau (Riau.Antaranews/Frislidia)

Pekanbaru (ANTARA) - Baru-baru ini muncul propaganda provokatif dari Nadya Karima Melati di situs m.dw.com, yang mengkritisi dan

mengusulkan penghapusan kementerian agama, dan tanggapan Nadya tersebut justru mengakibatkan jengkel

banyak pihak.

Kejengkelan makin kuat apalagi di situs itu tidak ada ruang komentar yang dapat dilihat publik. Semua respon

netizen yang masuk ke situs tersebut hanya diketahui adminnya saja.

Mencermati komentar yang "menyesatkan tersebut" saya selaku Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

merasa tersentuh untuk mendudukkan persoalannya secara proporsional.

Mari kita kupas lebih dahulu apa saja alasan Nadya menggulirkan propaganda Penghapusan Kementerian Agama

sebagai berikut:

1. Perpecahan berlandaskan agama di Indonesia terus terjadi (komentar Nadya). Bagi saya Penilaian Nadya ini

terlalu berlebihan. Faktanya ajaran agama bukan penyebab disintegrasi bangsa, jika perpecahan yang dimaksud

oleh Nadya itu bermakna disintegrasi bangsa. Apalagi tidak sedang terjadi disintegrasi bangsa di Indonesia saat

ini.

Keberagaman agama di Indonesia terpecah itu mustahil terjadi, karena tidak cocok dari latar belakang

historisnya. Jika perpecahan agama yang dumaksud Nadya adalah keberagaman, maka Keberagaman agama dan

penganutnya sudah bagian dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu

jua).

Sebenarnya kelanjutannya ada frasa Tan Hana Dharma Mangrwa atau tiada pengabdian yang mendua.

Semboyan ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular

semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.

Moh. Yamin menjadi tokoh yang pertama kali mengusulkan agar semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut diadopsi

menjadi semboyan negara. Usul ini diterima oleh Soekarno dan selanjutnya dibahas dalam rapat BPUPKI. Apalagi

semboyan ini juga selaras dengan Al Quran. Oleh karena itu perbedaan pendapat, beda agama, suku, ras, antar

golongan, beda pilihan politik, itu hal yang dilindungi oleh undang-undang selama tidak diskriminatif dalam

penegakan hukum dan pelayanan publik.

Justru tidak boleh ada penyatuan agama dan pengikutnya berdasarkan asas peleburan total. Sebab tidak boleh

ada pengabdian yang mendua (dualisme). Itulah Tan Hana Dharma Mangrwa, dan dalam Islam disebut syirkun.

Jika perpecahan itu dimaknai Nadya sebagai konflik, itu bukan berdasarkan agama tapi diindikasi dipicu oleh sistem

politik, dengan sistim pemilu RI mengarah pada aturan Presidential Thresold dan Pemilu Capres tahun 2019 hanya

mengapung dua pasang calon saja. Selain itu banyak oknum yang memiliki kepentingan tertentu cenderung bersikap

tidak jujur, dan faktanya penyelenggaraan pemilu memang, persis tahun 2019 banyak korban yang meninggal sakit

dan dirawat karena kelelalahan menjadi Petugas PPS.

Memang Kementerian Agama sebagian besar diisi pegawai Muslim dan lebih banyak memberi pelayanan kepada

umat Islam karena penduduk terbesar di Indonesia adalah Muslim.

Dengan demikian, yang bertujuan menyatukan agama yang berbeda dari Islam, kristen, budha, hindu, dan lainnya,

adalah ide Fusi agama yang sebenarnya bagian dari grand design Yahudi.

Kementerian Agama selalu menyuarakan "jaga Kerukunan umat beragama", apalagi setiap agama mengajarkan

toleransi kepada antar pemeluk agama yang berbeda-beda. Bahkan juga tidak ada ajaran agama yang memberi

toleransi perkawinan beda agama. Itu sebabnya perkawinan beda agama menjadi cemoohan pada semua pemeluk

agama yang taat.

Di Tanah Air ini, faktanya semua pemeluk agama yang berbeda bisa hidup berdampingan tanpa melebur,

bercampur-aduk dalam menjalankan ajaran agama masing-masing, bahkan Islam jelas tegas harus ada pemisah

antara yang haq dan bathil, antara muslim, kafir dan munaafiq, termasuk dalam urusan perkawinan.

2. Nadya Mempropagandakan perkawinan beda agama

Hanya orang yang tidak patuh beragama yang mau kawin beda agama. Perkawinan beda agama bertentangan

dengan sila ke-1 Pancasila.

KUA menolak orang yang ingin menikah beda agama adalah tindakan tepat. Meskipun Nadya menuding KUA itu

lembaga diskriminatif. Faktanya perkawinan beda agama menimbulkan kekacauan socio-antropologis. Pengaburan

identitas keturunan adalah bentuk perlawanan terhadap nilai-nilai agama manapun.

Nadya juga mengeritik KUA yang hanya mengurus agama Islam, padahal di Indonesia agama tidak hanya Islam

sehingga agama lainnya tumpah ruah mengurus perkawinan kekantor catatan sipil.

Soal teknis agar KUA dapat mengurus seluruh agama itu tergantung regulasi yang dibuat pemerintah dan DPR RI.

Dalam menentukan regulasinya agar semua agama dapat diurus KUA bisa saja satkernya ditambah begitu juga

anggaran buat kemenag khususnya KUA.

Meskipun prakteknya tidak sesimpel itu, namun hanya tersangkaut persoalan tekhnis dan SDM saja dan jika

disepakati bersama. Kementerian Agama dengan kemajuan reformasi birokrasinya tentu hanya memberi pelayanan

yang sesuai peraturan. Jika ada yang menuntut pelayanan dengan cara melanggar peraturan, justru harus

dihambat dengan birokrasi, atau kepentingan publik harus di atas kepentingan individu.

3. lembaga lain di luar kementerian agama mampu mencetak pendakwah dan keluarga sakinah, sehingga

kementerian agama sudah tidak perlu lagi (komentar Nadya).

Justru hal itu sejalan dengan tujuan Kemenag, bila perlu, mendapat apresiasi dari Kemenag karena membantu

tanggungjawab Kemenag. Meski pun demikian pengawasan dari Kemenag dibutuhkan untuk mendorong lebih kreatif

dan produktif.

4. Lembaga paling korup adalah Kemenag dan Kemenpora (komentar Nadya)

Padahal berdasarkan peneliti ICW, Wana Alamsyah kepada kompas.com (7/2/2019), mengatakan 89 % kasus

korupsi terjadi di pemda dari tingkat provinsi, kabupaten, kota dan desa. Serta BUMN. Berdasarkan data BKN,

ICW mencatat trend korupsi PNS banyak terjadi di lingkungan Kementerian khususnya di Kementerian

Perhubungan. Sementara untuk di Pemerintahan provinsi, PNS Pemprov DKI Jakarta paling banyak terlibat kasus

korupsi.

Terkait persoalan oknum yang terjerat korupsi di kementerian agama, itu persoalan yang tidak berbeda dengan

kementerian lainnya. Oknum tidak merepresentasikan sebuah lembaga. Karena oknum tetap akan menjadi oknum,

dan dia ada dimana saja.

Yang harus dicermati seharusnya sistem yang sengaja menjebak para oknum di semua lembaga dengan struktur

piramida sosial. Inilah akar segala persoalandari zaman ke zaman.

5. Persoalan agama yang paling diurus Kementerian Agama adalah Muhammadiyah dan NU

Wajar saja karena keduanya merupakan ormas terbesar anggotanya yang pernah ikut serta berjuang mengusir

penjajah. Tentu saja Kementerian Agama memberikan pelayanan yang terkait dengan eksistensi ormas Islam

tersebut karena kontribusinya juga paling besar buat Negara.

6. Kementerian agama tidak berperan ketika muncul isu rasisme dan diskriminasi pada momentum Pemilihan

gubernur 2016 lalu ( ini menjadi tanda tanya)

Fakta sebenarnya kasus penistaan agama sudah terhukum oleh pengadilan.Tidak ada isurasisme dan diskriminasi

kepada non muslim. Pernyataan Nadya itu hanya bentuk pemutarbalikan fakta saja.

Jadi kerukunan umat beragama itu dibangun. Tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak ada kerukunan umat

beragama jika pemecah belah dibiarkan di negeri ini.

7. Nadya menginginkan kebauran teologi di Kementerian Agama.

Apakah Nadya mengira tugas Kementerian Agama untukmencampur-baurkan teologi?. Tidak ada satu agama pun

mengajarkan kebauran Teologi. Ide Nadya itu berasal dari ide Yahudi.

8. Isu Radikalisme yang diakui BIN dipolitisir untuk mendiskreditkan Islam.

Nadya lupa bahwa dalam tayangan ILC tv one, kesimpulan BIN itu sendiri berasal dari hasil survei yang jadi

tertawaan dan lelucon banyak nara sumber. Namun harus diakui bahwa semua lembaga pemerintahan atau

kementerian pasti punya kekurangan dan kelemahan. Tapi yang terpenting bukan untuk saling tuding.

Kalau saling kritik boleh saja, selama kritik itu untuk membangun dan untuk saling lebih waspada terhadap propaganda dari

pihak pihak tertentu.

Penulis: Vethria Rahmi adalah Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau.